Saturday, March 22, 2008

Persimpangan Jalan Mang Ihin & Soeharto*

SUATU pagi, Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang), Solihin Gautama Poerwanegara dipanggil Presiden Soeharto. "Beliau bilang, kita harus punya gunung untuk bisa menimbun lembah dan rawa," ujar Solihin.

Pertemuan pagi di tahun 80-an itu merupakan awal persimpangan jalan antara dua tokoh itu.

Walaupun usianya menginjak angka 81 pada 21 Juli mendatang, Mang Ihin --panggilan akrabnya-- memiliki ingatan yang jernih, termasuk pada masa-masa 16 tahun menjadi orang yang begitu dekat dengan Soeharto. "Saya tidak kenal beliau sebelumnya, Soeharto di Diponegoro, saya di Siliwangi," kata Mang Ihin.

Perkenalan antara dua tokoh ini dimulai saat Soeharto menjabat Presiden RI, dan Solihin menjabat Gubernur Jawa Barat mulai 1970. "Beliau senior dan sama-sama pejuang. Jadi, walaupun tidak kenal, loyalitas saya sangat positif. Apalagi, dalam kaitan dengan tugas membangun negara. "Yang dihadapi saat itu adalah membangun swasembada khususnya beras dan umumnya pangan," ungkap Solihin.

Mang Ihin mulai bercerita:
Beliau saya anggap sebagai Presiden terbaik di dunia, betul-betul menguasai permasalahan, baik itu potensi rakyat, wilayah dan pengetahan teknis, terutama berkaitan dengan peningkatan produksi beras. Bahkan beliau boleh disebut penyuluh lapangan terbaik.
Sidak atau inspeksi mendadak dilakukan tanpa pernah orang tahu. Soeharto biasa pergi dengan beberapa orang saja, memakai Toyota Hi-Ace. Titik-titik mana yang harus dilakukan pemeriksaan juga sudah beliau tentukan.

Untung saya suka tahu, karena sekretaris militernya, Bapak Tjokropranolo (alm.), sahabat baik saya sewaktu revolusi.

"Lho kok tahu?" tanya Presiden.

"Wah masa yang begini saja saya tidak tahu?"


Pemeriksaannya benar-benar mendadak, dan apa yang harus diperiksa dan dikoreksi benar-benar dipahami. Mana bibit yang bagus, pupuk apa yang tersedia, sampai perkembangan tanaman. Baru lihat rumpun padi sudah tahu, apa terserang wereng atau tidak.

Kalau sudah melakukan pemeriksaan, program tidur dan makan tidak dipikirkan. Makan seadanya. Pernah di Sukabumi sudah sore, kita berhenti di satu tempat, yaitu Restoran Lembur Kuring untuk makan. Karena hari sudah malam, saya berinisiatif agar beliau menginap saja. Kebetulan restoran tersebut sedang membangun tempat penginapan.

Lalu, saya tanya pada yang punya restoran, "Bangunan tos tiasa ditingal (bangunan sudah bisa ditempati) ?"


Dia menjawab bisa, namun belum diisi apa-apa. Segera saja saya suruh nyari tempat tidur.

Saya bilang, " Bapak Presiden mau tidur sini, cari tempat tidur ya."

Malam itu kami menginap di sana.

Satu lagi kenangan Mang Ihin bersama Soeharto ketika berada di Rangkasbitung. Saat itu Mang Ihin pernah mengajak beliau ke Desa Cisimeut. Tempat itu di pedalaman, berada di perbatasan dengan Baduy. Saking terpencilnya, tidak pernah diinjak orang kolonial, baik Belanda maupun Jepang. Orang Banten bilang, belum ke sana kalau belum injak Cisimeut.

"Ketika beliau tanya jalannya, saya bilang ada sungai yang tidak ada jembatannya, tetapi sungai itu bisa dilewati dengan jip. Akhirnya, kita pun berangkat ke sana," ujarnya.

Itulah Soeharto, menurut Mang Ihin, beliau satu-satunya Presiden yang pada awal pemerintahannya sangat bersikap terbuka dan tidak berkeberatan dengan segala sesuatu yang serbamendadak. Sikapnya, terutama kepemimpinan lapangannya bagus sekali, sehingga swasembada tercapai. Sungguh prestasi yang hebat.

Pada saat ekonomi negeri ini masih merangkak maju, bersamaan dengan itu, terjadi perang di Timur Tengah, yaitu Perang Suez. Perang tersebut mendorong harga minyak melonjak naik.
"Pada saat itu produksi minyak kita sedang tinggi-tingginya, sehingga negeri kita surplus minyak, dan menyebabkan investasi luar negeri membaik. Negara kita saat itu menjadi negara yang banyak uang. Lalu, ketika keuangan negara berlimpah, beliau mulai berpikir apa yang beliau anggap tidak tepat. Yaitu seolah-olah segalanya bisa dicapai dengan uang," kata Mang Ihin

Suatu pagi di tahun 80-an Mang Ihin dipanggil Soeharto. "Kita harus punya gunung untuk menimbun lembah dan rawa".

Saat itu Mang Ihin tidak mengerti. "Kalau kita tidak punya gunung-gunung, kita tidak akan bisa menimbun rawa dan lembah. Kita hanya akan meratakan kemiskinan" ujar Soeharto.

Mang Ihin kemudian mengerti dan mengatakan hal ini tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. Hak individu memang diakui, tetapi ada koperasi yang sebaiknya dikedepankan agar kemajuan pembangunan berjalan bersamaan. Menurut Soeharto, saat itu ekonomi dinilai berjalan terlalu lamban, sehingga perlu diciptakan lokomotif untuk meningkatkan kecepatan itu.


Dan gunung-gunung tersebut--atau dengan kata lain para konglomerat--bermunculan.

Mulailah Mang Ihin merasa memiliki perbedaan pendapat. Orang-orang yang punya uang bisa langsung menjadi tokoh, tanpa tahu dari mana uangnya.

"Saya bilang, Pak ini akan menciptakan social gap. Gunung dibuat, tetapi rawa dan lembah tetap ada. Ini akan menjadi bahan politik yang tidak mendukung kepemimpinan Bapak. Terlebih lagi, ketika putra putrinya dijadikan gunung-gunung juga. Kata beliau, itu supaya mudah saya kendalikan," ujarnya memaparkan.

Kemudian ketika Mang Ihin bertanya, "untuk menimbun rawa dan lembah itu, siapa yang nanti akan menebas gunung kalau sudah jadi?"


Soeharto hanya menjawab, "Itu urusan saya".

"Mendengar hal itu, pahamlah saya bahwa kami sudah berbeda pola pikir. Saya yang pernah berpikir bahwa beliau adalah Presiden terbaik, seketika itu juga lalu merasa ia adalah the worst president in the world," tuturnya.

Mang Ihin juga tidak sependapat ketika Angkatan Darat dan Golkar dijadikan pengawal rezim dengan dwifungsinya. Ini semakin membuat dia tidak sejalan lagi dengan beliau. Dan kondisi sosial masyarakat bangsa semakin kacau. Gunungnya terus ada, tetapi lembah dan rawa juga tetap ada. Disertai cara-cara tidak sehat untuk mempertahankan rezim, maka terjadilah malapetaka. Negara dan bangsa jatuh kepada kondisi krisis berkepanjangan.

"Kita tidak bisa salahkan beliau sepenuhnya. Para pembantu yang tidak kritis juga membuat hal ini terjadi. Kalau Angkatan Darat dan Golkar kritis-korektif pasti beliau bisa diselamatkan dari sikap yang sentralistik dan memuja kekuasaan. Kalau para pembantu ini bisa bertindak kritis-korektif, beliau bisa diluruskan, karena pada dasarnya beliau itu baik. Mereka sekadar yes-man, selalu yes-yes-yes pada setiap ucapan beliau," ujarnya.

Mang Ihin mencontohkan ketika Pemilu 1978, saat itu Soeharto mengumpulkan anggota KNPI ke Bina Graha. Pak Harto mengatakan, "Sekarang ini Indonesia sedang berjuang untuk menjadi negara yang kuat dengan rencana pembangunan yang menyeluruh. Masa harus dipimpin oleh orang TOPP (Tua Ompong Peyot dan Pikun)?" Sontak saja saat itu hadirin tertawa akan selorohan Soeharto.

"Intinya, saat itu sudah timbul rasa bijaksana beliau yang menginginkan regenerasi pimpinan di negeri ini. Sayangnya, orang-orang terdekatnya tidak berharap demikian. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mempertahankan Soeharto untuk tetap memegang tampuk pimpinan negara. Tentu saja, mereka lakukan itu agar kesejahteraan mereka tetap terjaga," tutur Mang Ihin.

Inilah yang Mang Ihin maksudkan bawahan yang tidak kritis korektif.
"Setelah saya tidak menjabat lagi sebagai Sesdalopbang, saya tidak pernah sekalipun bertemu atau melakukan kontak dengan beliau. Ketika beliau meninggal, saya tidak berencana pergi ke Jakarta maupun Solo. Menurut hemat saya, yang namanya mendoakan itu bisa dari mana saja. Tak perlu lah saya datang ke sana. Cukup mengirim doa dari sini dan surat ucapan belasungkawa kepada keluarganya. Semoga beliau diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT, semoga segala amalnya diterima, dan untuk keluarganya agar diberi ketabahan," paparnya.

Soal kasus-kasus beliau di masa lalu, menurut Mang Ihin, keadilan hukum harus ditegakkan. Tindak korupsinya harus diusut hingga tuntas. Dengan menuntaskan kasus ini, nilai pemerintah di mata masyarakat akan menjadi lebih baik. Selain itu, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia.

"Rakyat itu sekarang enggak meminta langsung kaya, karena rakyat juga tahu kondisi negara sedang seperti apa. Mereka cuma ingin keadilan. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Coba lihat sekarang, rakyat sering kali gelisah karena diperlakukan tidak adil. Wajar saja jika rakyat cenderung menjadi tidak terkendali," ungkap Mang Ihin.

*Wawancara pertengahan 2007, di-update 27 Januari 2008 ketika Soeharto meninggal, dan dimuat di Pikiran Rakyat 28 Januari 2008


No comments: