Tuesday, February 17, 2009

Mengelola Energi Kreatif Kota


SEBAGIAN besar orang mengingat Glasgow sebagai kota manufaktur yang bangkrut. Sopir taksi yang mengantar dari bandara, menceritakan gedung-gedung besar bekas industri perkapalan dan alat berat, apartemen bekas pekerja, dan kehidupan keras kota industri sebelum 1990-an. Namun, dengan mengelola energi kreatifnya, kota ini mengubah diri hanya dalam satu dekade terakhir. “Persepsi orang tentang Glasgow diubah dari gangland menjadi city of culture,” kata Charles Bell, Art Manager di Culture and Sport Glasgow.

Perubahan itu digambarkan dalam sampul salah satu majalah. “Sepuluh tahun lalu salah satu majalah memasang sampul laporan mengenai Glasgow, dengan botol (minuman) berserakan dan kaca jendela yang pecah. Kini, majalah yang sama memuat sampul Glasgow yang jauh lebih rapi,” kata Bell.

“Regenerasi” kota begitu terasa ketika menyusuri Sauciehall, Buchanan, dan kawasan Merchant City. Disebut regenerasi, karena projek “Merchant City” sama sekali tidak membongkar bangunan-bangunan tua. Hasilnya, warna merah dan madu gaya victoria, batu-batu Italia abad pertengahan, dan menara-menara neo-gothik, dan gaya menggoda art nouveou dipadukan dengan warna-warna modern pertokoan, serta kantor.

Bukan cuma gaya, secara ekonomi Glasgow mengalami pertumbuhan signifikan dengan berfokus pada sektor tersier industri, seperti jasa finansial dan bisnis, komunikasi, industri kreatif, retail, dan pariwisata. Lebih dari 153.000 lapangan kerja tercipta di kota itu sejak 2000. Tahun 2005 saja, tercipta 17.000 lapangan kerja baru. Industri manufaktur besar perlahan digantikan bentuk ekonomi lain. Salah satunya adalah ekonomi kreatif.

Untuk Glasgow, memilih jalan mengembangkan ekonomi kreatif memang tidak mudah. Kota yang berbasis industri manufaktur, sebenarnya relatif tidak memiliki basis kultural yang cukup kuat. Tidak banyak kegiatan kreatif yang sebelumnya tercatat menjadi ciri khas Glasgow, kecuali beberapa event musik yang sempat digelar di kota itu.

Untungnya, dalam skala yang lebih besar Glasgow ikut dalam gelombang industri kreatif Inggris Raya. Momentum penting dalam skala nasional dikisahkan Josephine Burns, co-Director dari lembaga konsultan BOP, adalah kesadaran dan pengakuan dari pemerintah. “Tahun 1997, pemerintah membuat satuan tugas untuk industri kreatif. Hasilnya ada pemetaan, dokumentasi, dan yang penting adalah ada hasil audit kultural, yang menghasilkan cultural significance (penanda kultural) bagi berkembangnya industri kreatif di satu kota,” katanya.

Pemetaan itu dikembangkan dalam pengembangan regional dan kota-kota di Inggris Raya, termasuk Manchester, Bristol, Glasgow, dan kota-kota lain. Selain pengakuan pemerintah terhadap nilai ekonomi dari industri kreatif, pemetaan dan roadmap yang–bukan saja nilai ekonomi–tetapi juga disertai dengan “penanda kultural” membuat setiap kota bisa memilih cara yang berlainan sesuai dengan kondisinya.

Dengan penanda kultural yang minim, bahkan dibandingkan dengan Bandung (Baca: Beruntungnya Bandung), Glasgow adalah kota yang harus memulainya dari awal. “Pemerintah lokal bahkan direorganisasi. Ada proses pelepasan, yaitu pendelegasian tugas pada profesional dalam mewujudkan creative scotland ini,” kata Charles Bell.

Membangun Simpul
Menurut pengarang buku The Creative Economy, John Howkins, faktor penting pertama bertumbuhnya ekonomi kreatif adalah creative ecology atau domain. “Orang harus merasa nyaman, sehingga memunculkan bakat-bakat kreatif,” katanya di London.

Direktur Shoreditch Trust (salah satu lembaga pengembangan ekonomi kreatif di London Timur), Michael Peyner menyebut satu kota harus cukup nyaman untuk bisa menumbuhkan individual cultural sebagai penanda kultural awal.

Mendapatkan individu kreatif, memang bukan hal yang bisa secara cepat dilakukan. Seraya menumbuhkan kreativitas, Glasgow membuka keran bagi influx of talent atau “mengundang” talenta-talenta kreatif. “Migrasi memang bisa mempercepat proses ini,” kata Josephine Burns.

Glasgow dibuat terbuka bagi talenta kreatif yang masuk. Camille Lorigo adalah salah seorang migran dari New York, yang sukses mengembangkan industri fashion dan mendapatkan penghargaan sebagai “Scotland`s Creative Entrepreneur of The Year”. “Wacana yang harus dikembangkan untuk menarik talenta adalah bagaimana struktur (birokrasi), dukungan finansial, perencanaan kota, dan pelibatan publik,” kata Camille, yang memiliki brand Che Camille.

“Strategi kunci berikutnya adalah community engagement,” Nick Barley, Direktur Lighthouse. Talenta yang ada diberi ruang untuk berjejaring. Lighthouse didirikan sebagai salah satu simpul kreatif penting di Glasgow.

Menempati gedung tua bekas penerbitan dan gudang kertas, Lighthouse menjadi warga berpameran, mengikuti program pendidikan, workshop, hingga entrepreneurial. Anak-anak bisa mendapat kelas dasar mengenai disain di hari Sabtu. “Tempat ini menjadi urban learning center, pendidikan, dan juga berhubungan dengan publik, dalam hal ini berjejaring dan mendapatkan lingkungan bisnis melalui program konsultasi dan pendanaan,” katanya.

Satu program penting di Lighthouse adalah Creative Entrepreneur Club. Dalam klub yang tercatat beranggotakan 2.500 orang ini, setiap orang, mahasiswa, calon entrepreneur bisa mengikuti berbagai workshop dalam memulai dan mengembangkan diri sebagai creative entrepreneur. Ini bisa dilihat dari tema-tema workshop April 2008 ini, antara lain “Know Your Rights & Protect Your Business”, “Understanding the Peer-to-Peer Revolution with Michel Bauwens”, “The Science of Sponsorship”, “How to produce Media Packs & News Releases”, “Learning Spaces, Working Places with Stephen Heppell”.

Pembentukan institusi-institusi ini menjadi salah satu strategi besar membangun kota kreatif. Di Glasgow, selain Lighthouse, ada Glasgow Urban Laboratory yang diinisiasi oleh Fakultas Seni Glasgow, Dewan Kota, dan Lighthouse. Di dalamnya ada peneliti, warga, dan praktisi yang bekerja sama untuk menentukan agenda, serta pengembangan masa depan kota.

Selain itu, dibentuk pula Cultural Enterprise Office yang memberi pelayanan pada pebisnis dan praktisi kreatif dan kultural. “Tugas kami sederhana, menemani pemula, membawa para entrepreneur kreatif ke arena dengan pelayanan generik,” kata Deborah Keogh.

Yang dimaksud pelayanan generik menurut Keogh, sangat sederhana, para calon entrepreneur bisa mengobrol apa saja mengenai rencana bisnis. “Kita bahkan menghindari memaksa mereka membuat business-plan, karena itu seringkali malah membuat mereka mundur,” ujar Keogh.

Menurut Sarah Keay, salah seorang “lulusan” Cultural Enterprise Organizations, ia bisa mendapatkan konsultasi umum bisnis, seperti bagaimana langkah-langkah untuk mewujudkan gagasan secara gratis. “Soal-soal legal, marketing, finance, pajak, properti, dan konsultasi bentuk-bentuk karya bisa dicari di sini. Jadi, intinya menghubungkan skill ke market,” katanya.

Institusi penting lain adalah Glasgow Grows Audience (GGA). GGA adalah biro pengembangan audiens yang bekerja dalam bidang pengembangan audiens. “Kami berusaha memberi konteks pada karya seni. Audience development ini sama pentingnya dengan produksi karya seni itu sendiri,” kata direkturnya Julie Tait.

Bristol: “Screen Economy”
Kota yang mengembangkan ekonomi kreatif dengan karakteristik berbeda adalah Bristol. “Kota Sains” ini tinggal meneruskan apa yang telah ada. Dan salah satu yang menjadi fokus dari industri kreatif di kota ini adalah animasi dan film. Penggemar film animasi, pasti tak lupa Chicken Run yang merupakan salah satu produk Bristol. Produk film lain yang cukup dikenal adalah program dokumenter mengenai alam. Sekitar 25 persen dari program dokumenter alam di dunia ini produk kota ini. Program yang cukup dikenal, seperti “The Living Planet” (1984), “The Trials of Life” (1990), “The Private Life of Plants” (1995), “The Life of Birds” (1998), “The Life of Mammals” (2002), dan “Life in The Undergrowth” (2005). Bristol juga rumah bagi “Wildscreen”, salah satu festival pembuatan film lingkungan terbesar di dunia.

Bristol merupakan pusat dari industri media di kawasan Southwest. Sektor media ini saja menghasilkan 3,7 miliar poundsterling setahun dan mempekerjakan 30 ribu orang. Total angka dari ekonomi kreatif di Southwest sendiri, tercatat mencapai 10 persen total ekonomi kreatif Inggris.

Dengan berbisnis di “layar”, Bristol menjadi kota dengan pendapatan per kapita terbesar kedua setelah London. Inilah yang membuat Bristol dan kawasan Southwest dikenal dengan Screen Economy.

Di Bristol, secara regional, dibangun lingkungan kolaboratif antara perpaduan teknologi, riset, dan industri. Pemerintah juga meluncurkan program untuk mendukung “Aardman Training Centre”. Proses pembibitan talenta dibangun di Knowle West Media Centre. Di sini, anak-anak sudah mulai belajar membuat film dan animasi pendek. Sejumlah agen pengembangan kreatif, seperti Pervasive Media Studio (riset dan pengembangan), Watershed (pusat media), Tobacco Factory (model regenerasi teater, cafe, dan ruang kreatif) dikembangkan.

Berbagai festival digelar dalam mengembangkan keterlibatan publik antara lain Festival Encounters, Wildscreen, Mayfest, Festival of Ideas, Great Reading, Adventure, Light-up Bristol, dan Grafiti.

Impresif
Glasgow dan Bristol adalah dua kota berbeda yang sama-sama menjalani pilihan sebagai kota kreatif. Di Inggris yang sudah memancangkan salah satu fokus ekonominya pengembangan kota kreatif menjadi lebih terarah, mulai dari identifikasi dan penguatan “penanda kultural” hingga jejaringnya dengan pasar.

Selain itu, fokus pengembangan bentuk industri kreatifnya pun sudah dirancang dan dibagi dalam setiap wilayah. North East mendapat konsentrasi dan kluster bagi publishing, arsitektur, software, multimedia, film, dan kriya. . West Midlands berkonsentrasi di bidang software, film, seni dan barang antik, periklanan dan seni pertunjukan. Wilayah lain, seperti Yorkshire dan Humberside, Eastt Midlands, Eastern, South West, South East, London, Northern Ireland, Skotlandia, dan Wales juga memiliki konsentrasi masing-masing.

Seperti definisi kerja yang disepakati, pengembangan industri kreatif didasari oleh kreativitas individu dan inovasi, yang berujung pada kesejahteraan dan penyediaan lapangan kerja. Secara nasional, Inggris sudah menikmati hasil pengembangan industri kreatif dengan kontribusi 60 miliar poundsterling setahun, atau setara dengan 7,3 persen bagi ekonomi Inggris. Dua juta orang juga mendapat tempat di sektor ini.

“Ekonomi kreatif adalah bentuk ekonomi yang paling impresif saat ini,” kata John Howkins.

Penulis: Islaminur Pempasa
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

”Individual Culture” ke ”City Exchange”


MENGINTIP creative hub (simpul kreatif) yang didesain oleh pemerintah Inggris, tampak bahwa road map yang dilakukan lebih dari pemetaan potensi ekonomi kreatif. Inggris memulainya dari apa yang menjadi landasan ekonomi kreatif yaitu menggali potensi individu dengan menciptakan "ekologi kreatif". Fase kedua adalah membangun community engagement atau keterlibatan warga dan selanjutnya upaya kreatif itu dieksekusi melalui program enterprising. Dukungan riset yang terus-menerus dilakukan dalam memperkuat proses tersebut.
Charles Bell, Art Manager di Dewan Kota Glasgow menyebutnya sebagai "individual culture", beberapa pakar lain memilih terminologi "talent" atau "human capital".
Membangun kreativitas individual menjadi landasan bagi ekonomi kreatif dalam sebuah kota. Dalam hal ini, tidak salah jika Bandung mendapat sorotan karena dinilai memiliki human capital (sumber daya manusia sebagai modal) yang menonjol (baca: Memimpikan Bandung Menjadi Kota Dunia).
Pemenuhan talenta kreatif ini tidak terlepas dari membangun "domain" yang, menurut penulis buku The Creative Economy, John Howkins, menyediakan ekologi kreatif. Beberapa poin dalam ekologi kreatif, kata Howkins, adalah penciptaan ruang ketika orang merasa nyaman untuk mengeluarkan kreativitasnya. "Kota yang baik adalah kota di mana kita bisa belajar," tuturnya.
Dukungan institusional secara terencana dibangun. Glasgow, Bristol, dan London. The Lighthouse di Glasgow memiliki program pengenalan desain pada anak-anak, Knowle Media Center di Bristol memiliki program yang sama dengan fokus pada film dan animasi. London juga bisa mengandalkan Shoreditch Trust.
Kemunculan potensi-potensi kreatif individu kemudian diajak berjejaring melalui CEC, Knowle, maupun CIDA. "Berjejaring ini dilakukan untuk memperbesar kapasitas," kata Josephine Burns. Burns mengatakan, berjejaring merupakan langkah penting bagi pelaku bisnis maupun pembuat kebijakan dalam ekonomi kreatif, untuk mencapai jumlah massa kritis, dan melewati keterbatasan (informasi, pengetahuan, dan advokasi).
Secara simultan, community engagement dimatangkan dengan pengembangan ke arah enterprising (kewirausahaan). Untuk itulah, CIDA, Cultural Entreprise Office (CEO), Watershed Media Center menawarkan fasilitas konsultasi. "Kami memiliki setidaknya 4.500 klien dan lebih dari 120 ribu sesi konsultasi. Gratis," kata Direktur CEO, Deborah Keogh.
Penciptaan pasar, baik dalam bentuk pasar sosial maupun pasar finansial menjadi bagian dari kegiatan enterprising. "Ekonomi kreatif dari perspektif pasar adalah kemampuan menemukan dan menciptakan pasar baru," kata Howkins. Salah satu bentuk penciptaan pasar didukung oleh institusi seperti Glasgow Growth Audience.
Seluruh proses itu didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan yang juga terencana. "Menjadi kota kreatif adalah proses terus-menerus," kata David Porter dari Glasgow Urban Laboratory.
Di Bristol, Pervasive Media Studio terus mencari bentuk-bentuk baru media digital. Di tingkat nasional, NESTA (National Endowment for Science, Technology, and the Arts) menjadi ujung tombak riset pengembangan industri kreatif.
Ekonomi kreatif yang dikembangkan sebuah kota, juga memberi dampak langsung terhadap kota. "London misalnya, dalam berjejaring secara internasional itu melakukan hubungan langsung antarkota. Kita bertemu dengan Glasgow, Amsterdam, Shanghai, dll. Bentuk kerja sama bisnisnya tidak lagi negara, tapi sudah antarkota," kata pakar ekonomi kreatif, John Newbegins.
Pada awalnya adalah sebuah kota yang memberi tempat pada kreativitas, dan mengelola energi kreatifnya untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja. Kota yang bisa mengelola energi kreatif warganya menjadi berdaya dan melintasi batasan negara. "Tidak perlu bersaing secara internasional, cukup dengan membisniskan kekhasan lokal. Jadi, bisnis kecil di kancah internasional," kata Newbegins. (Islaminur Pempasa/”PR”)***