Tuesday, February 17, 2009

”Individual Culture” ke ”City Exchange”


MENGINTIP creative hub (simpul kreatif) yang didesain oleh pemerintah Inggris, tampak bahwa road map yang dilakukan lebih dari pemetaan potensi ekonomi kreatif. Inggris memulainya dari apa yang menjadi landasan ekonomi kreatif yaitu menggali potensi individu dengan menciptakan "ekologi kreatif". Fase kedua adalah membangun community engagement atau keterlibatan warga dan selanjutnya upaya kreatif itu dieksekusi melalui program enterprising. Dukungan riset yang terus-menerus dilakukan dalam memperkuat proses tersebut.
Charles Bell, Art Manager di Dewan Kota Glasgow menyebutnya sebagai "individual culture", beberapa pakar lain memilih terminologi "talent" atau "human capital".
Membangun kreativitas individual menjadi landasan bagi ekonomi kreatif dalam sebuah kota. Dalam hal ini, tidak salah jika Bandung mendapat sorotan karena dinilai memiliki human capital (sumber daya manusia sebagai modal) yang menonjol (baca: Memimpikan Bandung Menjadi Kota Dunia).
Pemenuhan talenta kreatif ini tidak terlepas dari membangun "domain" yang, menurut penulis buku The Creative Economy, John Howkins, menyediakan ekologi kreatif. Beberapa poin dalam ekologi kreatif, kata Howkins, adalah penciptaan ruang ketika orang merasa nyaman untuk mengeluarkan kreativitasnya. "Kota yang baik adalah kota di mana kita bisa belajar," tuturnya.
Dukungan institusional secara terencana dibangun. Glasgow, Bristol, dan London. The Lighthouse di Glasgow memiliki program pengenalan desain pada anak-anak, Knowle Media Center di Bristol memiliki program yang sama dengan fokus pada film dan animasi. London juga bisa mengandalkan Shoreditch Trust.
Kemunculan potensi-potensi kreatif individu kemudian diajak berjejaring melalui CEC, Knowle, maupun CIDA. "Berjejaring ini dilakukan untuk memperbesar kapasitas," kata Josephine Burns. Burns mengatakan, berjejaring merupakan langkah penting bagi pelaku bisnis maupun pembuat kebijakan dalam ekonomi kreatif, untuk mencapai jumlah massa kritis, dan melewati keterbatasan (informasi, pengetahuan, dan advokasi).
Secara simultan, community engagement dimatangkan dengan pengembangan ke arah enterprising (kewirausahaan). Untuk itulah, CIDA, Cultural Entreprise Office (CEO), Watershed Media Center menawarkan fasilitas konsultasi. "Kami memiliki setidaknya 4.500 klien dan lebih dari 120 ribu sesi konsultasi. Gratis," kata Direktur CEO, Deborah Keogh.
Penciptaan pasar, baik dalam bentuk pasar sosial maupun pasar finansial menjadi bagian dari kegiatan enterprising. "Ekonomi kreatif dari perspektif pasar adalah kemampuan menemukan dan menciptakan pasar baru," kata Howkins. Salah satu bentuk penciptaan pasar didukung oleh institusi seperti Glasgow Growth Audience.
Seluruh proses itu didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan yang juga terencana. "Menjadi kota kreatif adalah proses terus-menerus," kata David Porter dari Glasgow Urban Laboratory.
Di Bristol, Pervasive Media Studio terus mencari bentuk-bentuk baru media digital. Di tingkat nasional, NESTA (National Endowment for Science, Technology, and the Arts) menjadi ujung tombak riset pengembangan industri kreatif.
Ekonomi kreatif yang dikembangkan sebuah kota, juga memberi dampak langsung terhadap kota. "London misalnya, dalam berjejaring secara internasional itu melakukan hubungan langsung antarkota. Kita bertemu dengan Glasgow, Amsterdam, Shanghai, dll. Bentuk kerja sama bisnisnya tidak lagi negara, tapi sudah antarkota," kata pakar ekonomi kreatif, John Newbegins.
Pada awalnya adalah sebuah kota yang memberi tempat pada kreativitas, dan mengelola energi kreatifnya untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja. Kota yang bisa mengelola energi kreatif warganya menjadi berdaya dan melintasi batasan negara. "Tidak perlu bersaing secara internasional, cukup dengan membisniskan kekhasan lokal. Jadi, bisnis kecil di kancah internasional," kata Newbegins. (Islaminur Pempasa/”PR”)***

No comments: