Saturday, March 22, 2008

Persimpangan Jalan Mang Ihin & Soeharto*

SUATU pagi, Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang), Solihin Gautama Poerwanegara dipanggil Presiden Soeharto. "Beliau bilang, kita harus punya gunung untuk bisa menimbun lembah dan rawa," ujar Solihin.

Pertemuan pagi di tahun 80-an itu merupakan awal persimpangan jalan antara dua tokoh itu.

Walaupun usianya menginjak angka 81 pada 21 Juli mendatang, Mang Ihin --panggilan akrabnya-- memiliki ingatan yang jernih, termasuk pada masa-masa 16 tahun menjadi orang yang begitu dekat dengan Soeharto. "Saya tidak kenal beliau sebelumnya, Soeharto di Diponegoro, saya di Siliwangi," kata Mang Ihin.

Perkenalan antara dua tokoh ini dimulai saat Soeharto menjabat Presiden RI, dan Solihin menjabat Gubernur Jawa Barat mulai 1970. "Beliau senior dan sama-sama pejuang. Jadi, walaupun tidak kenal, loyalitas saya sangat positif. Apalagi, dalam kaitan dengan tugas membangun negara. "Yang dihadapi saat itu adalah membangun swasembada khususnya beras dan umumnya pangan," ungkap Solihin.

Mang Ihin mulai bercerita:
Beliau saya anggap sebagai Presiden terbaik di dunia, betul-betul menguasai permasalahan, baik itu potensi rakyat, wilayah dan pengetahan teknis, terutama berkaitan dengan peningkatan produksi beras. Bahkan beliau boleh disebut penyuluh lapangan terbaik.
Sidak atau inspeksi mendadak dilakukan tanpa pernah orang tahu. Soeharto biasa pergi dengan beberapa orang saja, memakai Toyota Hi-Ace. Titik-titik mana yang harus dilakukan pemeriksaan juga sudah beliau tentukan.

Untung saya suka tahu, karena sekretaris militernya, Bapak Tjokropranolo (alm.), sahabat baik saya sewaktu revolusi.

"Lho kok tahu?" tanya Presiden.

"Wah masa yang begini saja saya tidak tahu?"


Pemeriksaannya benar-benar mendadak, dan apa yang harus diperiksa dan dikoreksi benar-benar dipahami. Mana bibit yang bagus, pupuk apa yang tersedia, sampai perkembangan tanaman. Baru lihat rumpun padi sudah tahu, apa terserang wereng atau tidak.

Kalau sudah melakukan pemeriksaan, program tidur dan makan tidak dipikirkan. Makan seadanya. Pernah di Sukabumi sudah sore, kita berhenti di satu tempat, yaitu Restoran Lembur Kuring untuk makan. Karena hari sudah malam, saya berinisiatif agar beliau menginap saja. Kebetulan restoran tersebut sedang membangun tempat penginapan.

Lalu, saya tanya pada yang punya restoran, "Bangunan tos tiasa ditingal (bangunan sudah bisa ditempati) ?"


Dia menjawab bisa, namun belum diisi apa-apa. Segera saja saya suruh nyari tempat tidur.

Saya bilang, " Bapak Presiden mau tidur sini, cari tempat tidur ya."

Malam itu kami menginap di sana.

Satu lagi kenangan Mang Ihin bersama Soeharto ketika berada di Rangkasbitung. Saat itu Mang Ihin pernah mengajak beliau ke Desa Cisimeut. Tempat itu di pedalaman, berada di perbatasan dengan Baduy. Saking terpencilnya, tidak pernah diinjak orang kolonial, baik Belanda maupun Jepang. Orang Banten bilang, belum ke sana kalau belum injak Cisimeut.

"Ketika beliau tanya jalannya, saya bilang ada sungai yang tidak ada jembatannya, tetapi sungai itu bisa dilewati dengan jip. Akhirnya, kita pun berangkat ke sana," ujarnya.

Itulah Soeharto, menurut Mang Ihin, beliau satu-satunya Presiden yang pada awal pemerintahannya sangat bersikap terbuka dan tidak berkeberatan dengan segala sesuatu yang serbamendadak. Sikapnya, terutama kepemimpinan lapangannya bagus sekali, sehingga swasembada tercapai. Sungguh prestasi yang hebat.

Pada saat ekonomi negeri ini masih merangkak maju, bersamaan dengan itu, terjadi perang di Timur Tengah, yaitu Perang Suez. Perang tersebut mendorong harga minyak melonjak naik.
"Pada saat itu produksi minyak kita sedang tinggi-tingginya, sehingga negeri kita surplus minyak, dan menyebabkan investasi luar negeri membaik. Negara kita saat itu menjadi negara yang banyak uang. Lalu, ketika keuangan negara berlimpah, beliau mulai berpikir apa yang beliau anggap tidak tepat. Yaitu seolah-olah segalanya bisa dicapai dengan uang," kata Mang Ihin

Suatu pagi di tahun 80-an Mang Ihin dipanggil Soeharto. "Kita harus punya gunung untuk menimbun lembah dan rawa".

Saat itu Mang Ihin tidak mengerti. "Kalau kita tidak punya gunung-gunung, kita tidak akan bisa menimbun rawa dan lembah. Kita hanya akan meratakan kemiskinan" ujar Soeharto.

Mang Ihin kemudian mengerti dan mengatakan hal ini tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. Hak individu memang diakui, tetapi ada koperasi yang sebaiknya dikedepankan agar kemajuan pembangunan berjalan bersamaan. Menurut Soeharto, saat itu ekonomi dinilai berjalan terlalu lamban, sehingga perlu diciptakan lokomotif untuk meningkatkan kecepatan itu.


Dan gunung-gunung tersebut--atau dengan kata lain para konglomerat--bermunculan.

Mulailah Mang Ihin merasa memiliki perbedaan pendapat. Orang-orang yang punya uang bisa langsung menjadi tokoh, tanpa tahu dari mana uangnya.

"Saya bilang, Pak ini akan menciptakan social gap. Gunung dibuat, tetapi rawa dan lembah tetap ada. Ini akan menjadi bahan politik yang tidak mendukung kepemimpinan Bapak. Terlebih lagi, ketika putra putrinya dijadikan gunung-gunung juga. Kata beliau, itu supaya mudah saya kendalikan," ujarnya memaparkan.

Kemudian ketika Mang Ihin bertanya, "untuk menimbun rawa dan lembah itu, siapa yang nanti akan menebas gunung kalau sudah jadi?"


Soeharto hanya menjawab, "Itu urusan saya".

"Mendengar hal itu, pahamlah saya bahwa kami sudah berbeda pola pikir. Saya yang pernah berpikir bahwa beliau adalah Presiden terbaik, seketika itu juga lalu merasa ia adalah the worst president in the world," tuturnya.

Mang Ihin juga tidak sependapat ketika Angkatan Darat dan Golkar dijadikan pengawal rezim dengan dwifungsinya. Ini semakin membuat dia tidak sejalan lagi dengan beliau. Dan kondisi sosial masyarakat bangsa semakin kacau. Gunungnya terus ada, tetapi lembah dan rawa juga tetap ada. Disertai cara-cara tidak sehat untuk mempertahankan rezim, maka terjadilah malapetaka. Negara dan bangsa jatuh kepada kondisi krisis berkepanjangan.

"Kita tidak bisa salahkan beliau sepenuhnya. Para pembantu yang tidak kritis juga membuat hal ini terjadi. Kalau Angkatan Darat dan Golkar kritis-korektif pasti beliau bisa diselamatkan dari sikap yang sentralistik dan memuja kekuasaan. Kalau para pembantu ini bisa bertindak kritis-korektif, beliau bisa diluruskan, karena pada dasarnya beliau itu baik. Mereka sekadar yes-man, selalu yes-yes-yes pada setiap ucapan beliau," ujarnya.

Mang Ihin mencontohkan ketika Pemilu 1978, saat itu Soeharto mengumpulkan anggota KNPI ke Bina Graha. Pak Harto mengatakan, "Sekarang ini Indonesia sedang berjuang untuk menjadi negara yang kuat dengan rencana pembangunan yang menyeluruh. Masa harus dipimpin oleh orang TOPP (Tua Ompong Peyot dan Pikun)?" Sontak saja saat itu hadirin tertawa akan selorohan Soeharto.

"Intinya, saat itu sudah timbul rasa bijaksana beliau yang menginginkan regenerasi pimpinan di negeri ini. Sayangnya, orang-orang terdekatnya tidak berharap demikian. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mempertahankan Soeharto untuk tetap memegang tampuk pimpinan negara. Tentu saja, mereka lakukan itu agar kesejahteraan mereka tetap terjaga," tutur Mang Ihin.

Inilah yang Mang Ihin maksudkan bawahan yang tidak kritis korektif.
"Setelah saya tidak menjabat lagi sebagai Sesdalopbang, saya tidak pernah sekalipun bertemu atau melakukan kontak dengan beliau. Ketika beliau meninggal, saya tidak berencana pergi ke Jakarta maupun Solo. Menurut hemat saya, yang namanya mendoakan itu bisa dari mana saja. Tak perlu lah saya datang ke sana. Cukup mengirim doa dari sini dan surat ucapan belasungkawa kepada keluarganya. Semoga beliau diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT, semoga segala amalnya diterima, dan untuk keluarganya agar diberi ketabahan," paparnya.

Soal kasus-kasus beliau di masa lalu, menurut Mang Ihin, keadilan hukum harus ditegakkan. Tindak korupsinya harus diusut hingga tuntas. Dengan menuntaskan kasus ini, nilai pemerintah di mata masyarakat akan menjadi lebih baik. Selain itu, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia.

"Rakyat itu sekarang enggak meminta langsung kaya, karena rakyat juga tahu kondisi negara sedang seperti apa. Mereka cuma ingin keadilan. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Coba lihat sekarang, rakyat sering kali gelisah karena diperlakukan tidak adil. Wajar saja jika rakyat cenderung menjadi tidak terkendali," ungkap Mang Ihin.

*Wawancara pertengahan 2007, di-update 27 Januari 2008 ketika Soeharto meninggal, dan dimuat di Pikiran Rakyat 28 Januari 2008


Replikasi Justru Dilakukan di Luar Negeri*


SUNGAI Ciasem yang membelah Desa Cinta Mekar menjadi berkah bagi desa itu. Bukan hanya mengairi persawahan, aliran airnya digunakan menjadi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Dari PLTMH itu, setiap bulan, koperasi desanya mendapat pemasukan Rp 4,7 juta. Dari bendungan kecil, air sungai sebagian dialirkan ke sebuah irigasi permanen. Berjarak 400 meter dari bendung itu, air ditampung dalam kolam penampung dan kolam penenang sebelum dialirkan ke pipa pesat, masuk ke turbin, dan kembali ke sungai Ciasem. Dari keseluruhan debit 1.500 liter per detik aliran yang dibelokkan ke saluran run-off tersebut, sebanyak 1.100 liter per detik air dijatuhkan dalam dua pipa pesat dari ketinggian 18,6 meter.
Kekuatan air tersebut diubah oleh dua turbin kembar untuk menghasilkan daya maksimal 120 kilowatt. Sementara debit 400 liter per detik, diteruskan oleh irigasi teknis tersebut untuk mengairi puluhan hektare sawah. "Semua diakomodasi, tidak ada yang dirugikan. Pertanian bisa berjalan, alam terjaga, potensi energi listrik juga termanfaatkan secara optimal. Bukan saja untuk pelistrikan desa, tetapi juga pemberdayaan masyarakat," kata Tri Mumpuni, dari lembaga swadaya masyarakat, Yayasan Ibeka.
Kepala Dusun Tangkildua, Wahdi (55) mengaku, sejak pembangungan PLTMH Cinta Mekar ini, pengairan sawah di dusunnya jauh lebih terjamin. "Ada 40 hektare sawah di dusun saya, sekarang ini walaupun musim kemarau, kami tidak terlalu kesulitan air. Apalagi sejak awal ada perjanjian, lamun halodo kajeun nutup (PLTMH)," kata Wahdi yang mengaku memiliki 50 bata (tumbak) lahan sawah.PLTMH di Cinta Mekar diresmikan 17 April 2004 oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Purnomo Yusgiantoro. Inisiator projek sekaligus penyandang dana PLTMH ini terdiri dari UN-ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), PT Hidropiranti dan Ibeka.
Cinta Mekar boleh dibilang beruntung, UN-ESCAP memberi dana hibah 75 ribu dolar AS untuk membangun PLTMH berkapistas maksimum daya 120 kilowatt. Separuh dana lain ditanggung oleh PT Hidropiranti. Yayasan Ibeka sendiri mengeluarkan sejumlah dana yang sama untuk kepentingan diseminasi dan fasilitas training. Seluruh hasil produksi PLTMH ini dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan harga Rp 432,00 per Kwh.
Setelah beroperasi, PLTMH ini meraup pemasukan sebesar Rp 25,920 juta per bulan. Jumlah ini didapat dari rata-rata produksi 100 KW x 24 jam x 25 hari x Rp 432,00. Setelah dikurangi depresiasi, biaya operasi, dan pemeliharaan sebesar Rp 15,5 juta, didapat keuntungan bersih Rp 10,420 juta. Keuntungan inilah yang dibagi dua antara PT Hidropiranti dengan koperasi Mekarsari.
Menurut Wahdi, dalam 17 bulan pertama pemasukan bagi desa ini dibagi untuk kepentingan pelistrikan 62,5 persen, pendidikan (8 persen). Sisanya untuk kesehatan, permodalan, infrastruktur desa, pengelolaan desa dan biaya rutin koperasi. "Bagi yang tidak mampu, pemasangan listrik diberikan gratis. Sisanya sistem diskon, ada yang 75 persen dan seterusnya, tergantung kemampuan warga," katanya.
Setelah 17 bulan dan semua warga mendapat fasilitas listrik, alokasi digeser. Pendidikan, beasiswa, dan pelatihan untuk penduduk dewasa mendapat alokasi 65 persen, alokasi kesehatan 16 persen, permodalan 7,5 persen, infrastruktur desa 4 persen, kontribusi operasional desa 2,5 persen, dan biaya operasional koperasi sebesar 5 persen. "Sekedar perbaikan gorong-gorong sudah ada dananya, di koperasi juga mendirikan posyandu," kata Ase Muslihat (37), warga desa yang mendapat tugas sebagai operator PLTMH.
Pembangunan PLTMH Cinta Mekar boleh dibilang kisah sukses yang berlangsung relatif mulus dibandingkan pembangunan PLTMH-PLTMH lain, seperti di Curug Agung. PLTMH Curug Agung yang juga di Kec. Sagalaherang memiliki perjalanan yang cukup sulit.
Di tahun 1990, daerah itu belum tersentuh listrik. Setelah melalui proses persiapan, akhirnya konstruksi dibangun dan selesai Februari 1991. Menggunakan turbin crossflow T-7, dihasilkan tenaga listrik 12,5 kilowatt. Dengan jumlah pelanggan mencapai 121 keluarga, investasi yang ditanamkan warga desa diperkirakan akan kembali dalam tujuh tahun.
Namun, pada tahun 1995, PLN masuk dan memasang jaringan di desa itu. Saat itu, seorang penduduk yang menanamkan investasi mengalami stress, karena khawatir cicilan sebesar Rp 600 ribu per bulan tidak terbayar, karena pelanggan berpindah ke PLN. Maklum, tarif PLN saat itu adalah Rp 112,00 per-Kwh, sedangkan harga PLTMH adalah Rp 290,00 per Kwh. Walaupun ternyata hanya sebagian kecil yang pindah.
Malang tak bisa ditolak, pemilik modal tersebut akhirnya meninggal. "Ini sangat menyentuh, saya kemudian berjuang agar produksi PLTMH ini dibeli oleh PLN," kata Tri. Selama lima tahun Tri berjuang sebelum akhirnya jaringannya disambung dengan PLN pada tahun 2000. Kini pewaris PLTMH Curug Agung mendapat pemasukan rutin tiap bulan.
Keterlibatan
Menurut Tri, hal terpenting dalam pembangunan PLTMH seluruh proses pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan melalui musyawarah penduduk. Bukan hanya soal alokasi, tetapi juga bagaimana mereka menyusun klasifikasi penduduk yang berhak mendapat bantuan. "Kalau diputuskan sendiri, sulit ada yang mau berpura-pura. Transparan sekali. Lucunya mereka rapat dua atau tiga hari, bahkan ada yang sengaja tidak jualan. 'Ini kan menyangkut masa depan ya Bu Tri'," papar Tri.
Keterlibatan masyarakat setempat sejak awal, kata Tri, menjadi faktor penting dalam pendirian dan keberlanjutan PLTMH. "Secara teknologi, tak ada masalah, tetapi yang penting bagaimana masyarakat terlibat. Ketika tim sosial masuk semua aspek berusaha disentuh. That is development," tandas Tri yang kemudian terpilih sebagai fellow Ashoka.
Kegiatan sosial-kemasyarakatan dilakukan mulai dari persiapan masyarakat yaitu pencatatan data awal dan pembentukan organiasi. Kemudian diikuti oleh pembentukan kapasitas dan kepemilikan (baca: PLTMH Berbasis Masyarakat). Keterlibatan dan pemberdayaan ini menjadi kunci keberlangsungan projek yang ada. Dari 60 PLTMH yang telah dibangun, penduduk mengorganisasi sendiri seluruh perawatan, pengorganisasian, hingga pola penagihan terhadap pelanggan.
Di salah satu PLTMH di Cikalong, penduduk bahkan sudah mengadopsi komputerisasi. "Dalam membantu penduduk untuk mandiri, ujungnya adalah to make us out of work. Kalau masih nggondoli itu namanya menciptakan ketergantungan," kata Tri. Ibeka juga membangun fasilitas training di Desa Pabuaran, tidak jauh dari lokasi PLTMH Cinta Mekar.
Fasilias ini secara rutin dikunjungi delegasi berbagai negara yang belajar mengenai pengelolaan PLTMH berbasis masyarakat. "Di negeri sendiri belum ada upaya replikasi. Malah replikasi ini banyak dilakukan di luar negeri," ujar Tri.***
*Tulisan ini teh kemudian jadi juara III kompetisi jurnalistik nasional "Social Entrepreneurship Toward Better Indonesia" 2008, yang digelar Ashoka

PLTMH: Menerangi Desa, Memberdayakan Warga*

"17-22... 17-22... Matikan satu lampu atau alat listrik yang tak dipakai."

IKLAN layanan masyarakat melalui kepolosan si Oneng alias Rieke Diah Pitaloka itu sempat santer ditayangkan stasiun televisi. Melalui iklan layanan masyarakat itu, PLN berupaya untuk mengurangi beban puncak yang biasanya terjadi pada pukul 17.00 - 22.00. Dalam iklan ini, PLN mengajak masyarakat menghemat energi dengan mengurangi pemakaian listrik.

Meningkatnya kebutuhan energi masyarakat ternyata tak sejalan dengan produksi listrik yang dihasilkan PLN. Mati lampu secara bergiliran adalah buktinya. Diukur dari tingginya intensitas energi nasional, Indonesia memang tergolong boros. Secara relatif, Indonesia mengeluarkan 482 TOE (ton oil equivalen). Bandingkan dengan Malaysia (439 TOE), atau negara-negara yang lebih maju dan tergabung dalam OECD yang hanya 164. Padahal di wilayah ini ada musim dingin yang membutuhkan energi untuk penghangat ruangan.

Bukan saja boros, sebaran penggunaannya tidak merata. Pelayanan listrik baru menjangkau permukiman di perkotaan, sementara wilayah pelosok masih banyak yang belum terjangkau listrik. Rasio elektrifikas, Indonesia saat ini baru mencapai angka 58%. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, berarti masih ada sekitar 105 juta penduduk yang tidak mendapat pelayanan energi listrik. Khusus di wilayah Jawa Barat saja, masih ada sekitar 4 juta keluarga yang belum menikmati terangnya listrik di rumah mereka. Faktor sulitnya akses serta rendahnya feasibilitas pemasangan jaringan ke pelosok terpencil adalah salah satu penyebabnya.

Di balik semua kesulitan itu itu, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri Mumpuni mengatakan, sebenarnya setiap desa memiliki potensi sumber daya alam yang unik untuk pembangkit energi listrik atau sumber energi setempat (SES). Potensi SES ini umumnya berskala kecil dan tersebar, sehingga jika menggunakan kriteria komersial, potensi ini tergolong tidak layak dikembangkan. Setiap daerah mempunyai karakteristik SES yang berbeda, ada yang memiliki sumber air, ada pula yang memiliki potensi angin, bahkan ada yang memiliki potensi surya. Salah satu potensi besar yang dimiliki Indonesia adalah air. Sumber energi air mampu menerangi seluruh Jawa dan Bali dengan waduk-waduk buatan berukuran raksasa seperti Jatiluhur, Cirata, ataupun Saguling.

Sayangnya, potensi energi air yang besar dan pemanfaatannya masih belum maksimal. Berdasarkan data, potensi air tersebar di seluruh Indonesia dan diperkirakan mencapai 75.000 MW dan pemanfaatannya baru sekitar 2,5% dari seluruh potensi yang ada. Namun, pembangkit listrik berskala besar itu tidak sepenuhnya bisa menjawab masalah pemenuhan kebutuhan energi. Tidak juga dalam keseimbangan penyebaran.

"Sebenarnya, dengan jalur distribusi kabel puluhan kilometer, menjadi tidak efektif," kata Tri yang menawarkan konsep "Pembangkit Listrik Bertumpu Pada Masyarakat". Konsep ini berbasis pada teknologi pembangkit listrik tenaga mikro/minihidro (PLTMH). Istilah mikrohidro biasanya dipakai untuk pembangkit listrik yang menghasilkan output di bawah 500 KW, sementara minihidro untuk output 500 KW-1 MW. Lebih besar dari itu biasa disebut dengan PLTA. PLTMH ini merupakan salah satu alternatif solusi yang dapat menembus keterbatasan akses transportasi, teknologi, hingga biaya. Secara praktis, Tri terjun langsung membangun 60 PLTMH yang tersebar di Indonesia, termasuk lokasi unggulan di Desa Cinta Mekar, Kec. Sagalaherang, Kabupaten Subang.

Potensi pengembangan PLTMH di Indonesia juga masih sangat terbuka. Dari seluruh 75.000 MW potensi kelistrikan tenaga air, 10 persen, atau 7.500 MW bisa digunakan untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Saat ini, yang baru dimanfaatkan baru sebesar 60 MW.

Sumber energi yang dihasilkan PLTMH ini merupakan sebuah alternatif yang menggunakan teknologi sederhana. Tengok saja di sepanjang sungai besar di wilayah Jawa Barat selatan. Masyarakat sebenarnya telah terbiasa memanfaatkan energi aliran sungai untuk penerangan di rumahnya. Dengan bermodalkan generator murah buatan Cina dan turbin sederhana dari kayu yang ditempatkan dalam sebuah power house, listrik telah bisa dihasilkan. Jalur distribusi pun hanya mengandalkan kabel-kabel yang direntangkan langsung menuju rumah. Hasilnya? Meskipun lampu agak reup-bray namun cukup untuk mengusir kegelapan saat malam hari.

Bukan ”Emas”
Berbeda dengan rencana pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) seperti yang ramai diperbincangkan, nasib PLTMH justru terkesan senyap. Jika banyak calon investor berlomba-lomba mendapatkan projek PLTSa, tak demikian dengan PLTMH. Bagi kebanyakan pihak, PLTMH masih dianggap sesuatu yang jauh dari kata "untung". "Sampah akan menjadi ekonomis saat diterapkan di perkotaan dengan produksi sampah yang berlimpah," kata Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr. Ing. Mochamad Ichwan.

Begitu dijadikan sumber energi bagi sebuah pembangkit listrik, lanjut Ichwan, sampah berubah menjadi bahan baku. Saat orang melihatnya sebagai bahan baku, mereka melihatnya sebagai "emas". "Dan ketika berbicara tentang emas mata orang akan berbeda, di sanalah problematikanya," katanya.

Ichwan tak memungkiri energi yang dihasilkan PLTSa mungkin akan lebih besar dibandingkan dengan PLTMH. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa PLTMH dengan PLTSa merupakan dua kondisi yang tak dapat dibandingkan ataupun dibedakan. "PLTMH akan jauh lebih murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat kecil, meski kapasitasnya relatif kecil," kata dia. Berbeda dengan PLTSa yang kini menjadi rebutan, PLTMH hanya berbicara dalam ruang lingkup lokal dan tak ada yang berbicara dengan kepentingan lain.

Padahal banyak keuntungan pembangunan PLTMH. Kabid Elektronika Daya dan Mesin Listrik Puslit Telimek LIPI, Anjar Susatyo, S.T., mengatakan, karena hampir seluruh komponen pembangun PLTMH merupakan produk lokal, sehingga biayanya pun dapat ditekan serendah mungkin. Ia menyebutkan, harga turbin, generator, panel kontrol, hingga pembangunan sipilnya kira-kira Rp 5 juta per KW. Dengan kata lain, jika akan membangun PLTMH dengan daya 100 KW (100.000 Watt) dibutuhkan biaya Rp 500 juta. Biaya tersebut relatif murah dibandingkan dengan menggunakan sumber listrik dari berbahan bakar fosil (BBM).

Energi terbarukan
Keuntungan lain yang didapat dengan mengembangkan PLTMH, kata Ichwan, salah satunya adalah karena teknologi PLTMH andal dan kokoh hingga mampu beroperasi lebih dari 15 tahun. PLTMH juga memanfaatkan sumber energi yang terbarukan, produk dan teknologi hasil penelitian dalam negeri, biaya pengoperasian dan pemeliharaannya murah, dan sistemnya sangat sederhana.

Dalam PLTMH sistem run-off--yang antara lain dikembangkan Ibeka di Subang--sebagian air sungai diarahkan ke saluran pembawa kemudian dialirkan melalui penstock (pipa pesat) menuju turbin. Selepas dari turbin, air kembali ke sungai. "Tidak ada materi yang diambil, hanya energinya saja," kata Tri.

PLTMH memang tidak memerlukan bahan bakar apapun. Masukan energi primer berupa aliran massa air tidak dikurangi, tetapi hanya dimanfaatkan energinya dalam jarak ketinggian tertentu atau diambil energi potensialnya saja.

Penghematan BBM
PLTMH juga akan menghemat dana yang cukup besar bila dibandingkan dengan pembangkit listrik bertenaga BBM. Tiap 1 megawatt (MW) listrik yang dihasilkan PLTMH bisa menghemat uang sebesar Rp 10 miliar per tahun. "Pembangkit listrik di Indonesia saat ini masih banyak menggunakan energi fosil padahal harga BBM sudah sangat tinggi. Kalau digantikan dengan pemanfaatan air maka kita bisa menghemat uang cukup besar, 1 MW saja bisa menghemat Rp 10 miliar pertahun," kata Direktur Utama PT. Indonesia Power, Abimanyu Suyoso saat peletakan batu pertama pembangunan PLTMH Cileunca di Desa Warnasari Kec. Pangalengan Kab. Bandung, tiga bulan lalu.

Sebagai contoh, ucap Abimanyu, PLTMH Cileunca akan menghasilkan listrik 2x500 kw atau 1 MW dengan biaya yang dikeluarkan diperkirakan mencapai Rp 13 miliar. Berdasarkan perhitungan itu, modal pembangunan PLTMH Cileunca dapat kembali dalam waktu 1 tahun empat bulan. Pengembangan pembangkit listrik dengan energi nonfosil akan memberikan kontribusi pada penghematan BBM nasional. "Banyak sekali yang bisa dihemat, dengan mengembangkan PLTMH ini di desa," kata Tri seraya menyodorkan peluang pengehematan triliunan rupiah ketika output energi PLTMH dikonversi dalam penghematan BBM dan CER (certified emission reduction).

Dengan asumsi potensi tenaga air skala kecil di pedesaan Indonesia sekira 500 MW, dan hutannya tidak terdegradasi, didapat angka penghematan Rp 4,270 triliun dan CER senilai enam juta dolar AS (lihat tabel di bawah ini). "Belum lagi pemasukan desa yang bisa mencapai Rp 1,992 trilyun per tahun," katanya.

PADes
Asumsi penting dalam pengembangan PLTMH agar memberi juga kontribusi opimal adalah melalui pemberdayaan warga desa. Dengan pola yang dikembangkan Ibeka, Desa berpeluang memperoleh apa yang disebut PADes, atau pendapatan asli desa. Ketika jaringan PLN belum masuk ke desa, pembangunan listrik dilakukan dengan system off-grid. Masyarakat mengelola sendiri pembangkit listrik, mulai dari pemeliharaan alat hingga system penagihannya.

Apabila jaringan PLN sudah sampai dan ternyata di desa tersebut terdapat potensi mikrohidro, pembangkit tersebut dapat dijadikan penghasilan masyarakat desa. Caranya dengan menjual seluruh energinya ke jaringan PLN. Apa yang dilakukan Ibeka memang bukan coba-coba. PLTMH di Curug Agung didirikan pada 1991, setelah sempat bersaing dengan PLN yang masuk pada ahun 1995, PLTMH Curug Agung kemudian dihubungkan dengan jaringan PLN pada tahun 2000. Sementara PLTMH di Cinta Mekar, seluruh "produk" energi listriknya dijual ke PLN.

Penjualan produk PLTMH ke dalam jaringan PLN sendiri melalui sebuah proses panjang dan melelahkan. "Di luar negeri ada aturan yang 'mewajibkan' pemerintah membeli, seperti NFFO di Inggris dan PURPA di AS. Di sini, memang sudah ada Kepmen 1122/2002 soal PSK-TR-ET (pembangkit listrik tersebar teknologi rakyat energi terbarukan)," papar Tri.

Agar praktik pembangkitan energi yang selaras dengan pemberdayaan masyarakat, Tri juga menekankan perlunya model keenergian baru dalam pengembangan PLTMH yang tidak terpusat dan memanfaatkan potensi desa. Tri menawarkan konsep "Pembangkit Listrik Bertumpu pada Masyarakat" sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan pemanfaatan SES, yang sekaligus pemberdayaan masyarakat. "Pembangunan apapun tanpa dukungan masyarakat tidak akan bertahan lama atau malah mubazir. Oleh karena itu, setiap kami masuk ke suatu daerah, tim pertama yang turun adalah tim sosial. Tim teknik itu belakangan saja setelah masyarakatnya siap," paparnya.

Dari praktik yang ada, pengembangan PLTMH tidak sekadar membangun pembangkit listrik, tetapi berpeluang menjadi salah satu upaya membangun kemandirian desa. "Pengembangan PLTMH yang berbasis masyarakat ditujukan untuk menciptakan pusat pertumbuhan di desa. Kami tak membangun mikrohidro, kami membangun masyarakat," katanya.

Sejumlah desa yang telah dibangun PLTMH mungkin merasakan hal ini. Cinta Mekar, misalnya, dengan kepemilikan 50% (dari bantuan UNESCAP), koperasi desa mendapat sekira Rp 4,7 juta perbulan. Di sana, warga tak mampu mendapat pemasangan listrik gratis, sebagian uang digunakan untuk keperluan kesehatan, membiayai sekolah anak tak mampu hingga modal kerja. Namun, berbagai kendala dari tingkat paradigmatik pembangunan, aturan hingga pelaksanaan memang masih harus dilalui. Dari segi pembiayaan, pola yang ada memang sulit diakses oleh masyarakat desa. Orang desa, kata Tri, tidak mungkin dapat mengikuti proses lelang yang tertera dalam Kepres 80/1995.

"Pertanyaan yang muncul adalah, 'Bagaimana mungkin pemerintah daerah tidak mempunyai mekanisme dukungan pembiayaan bagi penduduk desa yang ingin memajukan desanya sendiri'," kata Tri.***

*Ditulis bersama Deni Yudiawan, dan dimuat di Teropong, Pikiran Rakyat, 21 Mei 2007

Jalan IGOS Hadapi Pembajakan Software*

DI Bandung, kalau perlu perangkat lunak (software) murah memang tidak perlu susah-susah. Di beberapa titik, seperti di Jln. Ganesha dan beberapa pertokoan komputer, dengan merogoh kocek Rp 10.000,00 hingga Rp 25.000,00 program apa pun yang diperlukan hampir pasti tersedia. Sesekali mobil aparat lewat, berhenti sebentar dan meluncur lagi.

Mungkin itulah mengapa, Indonesia masuk dalam "tiga besar" dari 20 negara dengan tingkat pembajakan tertinggi yang dilansir lembaga riset IDC dan BSA (Aliansi Industri Perangkat Lunak). Atau ini pula yang membuat munculnya laporan tahun 2005, bahwa 87 persen perangkat lunak yang ada di Indonesia adalah produk bajakan.

Di tengah ruwetnya penanganan pembajakan software (sampai masalah sosial dan hukum), percayalah, satu-satunya cara menghilangkan pembajakan adalah dengan menggunakan software legal. "Nah, konsekuensi dari menggunakan software legal, tinggal beli lah software legal. Dan jika beli software legal, satu pilihannya tidak banyak, dan kebetulan pilihan yang ada tidak banyak ini tidak murah," kata Dr. Richard Mengko, Staf Ahli Menristek Bidang Information and Communication Technology (ICT).

Di negara seperti Indonesia, menurut Richard, pemerintah harus berpikir memberikan alternatif. "Kalau soal kekurangan energi, harus dicarikan teknologi alternatif. Nah, itu melahirkan ide mendorong terbentuknya IGOS. Semangatnya, kita perlu memiliki jalan yang cerdas, bukan jalan pintas."

IGOS yang disebut, memiliki nama lengkap Indonesia Go Open Source (IGOS) Nusantara 2006. Open source software (OSS) boleh dibilang merupakan salah satu jawaban atas isu global tentang ICT, berlakunya undang-undang hak atas kekayaan intelektual, dan kesenjangan teknologi informasi di masyarakat. OSS sendiri bisa didefinisikan sebagai perangkat lunak yang dikembangkan secara bersama, bebas alias gratis. OSS yang paling populer misalnya Linux.

IGOS Nusantara 2006 adalah perangkat lunak desktop turunan Linux Fedora Core 5. Kemampuannya, menurut Kepala Bidang Analisis Pengembangan Piranti Lunak Kementerian Ristek, Kemal Prihatman, sudah cukup teruji. Apalagi sekadar mengoperasikan aplikasi perkantoran open office, pengelolaan teks, database, spreadsheet, dan presentasi. Masih bisa juga untuk aplikasi GIMP untuk pengelolaan file grafis, aplikasi Firefox untuk internet browsing, aplikasi Thunderbird untuk e-mail, serta aplikasi GAIM untuk chatting. "Untuk pengembangan, kami juga memiliki labolatorium test bed IGOS," kata Kemal.

Laboratorium test bed IGOS merupakan sarana untuk pengujian perangkat lunak berbasis open source yang dilengkapi dengan peralatan untuk pengujian/uji coba komponen dari aplikasi open source. IGOS sebenarnya dirintis melalui penandatanganan deklarasi bersama lima kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Pendayagunaan Aparatur Negara, Kehakiman dan HAM, dan Pendidikan Nasional, 30 Juni 2004. Deklarasi tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa OSS ini menjadi strategi nasional dalam mempercepat penguasaan teknologi informasi di Indonesia.

Menristek memberi contohTingkat kesempurnaan perangkat lunak yang dikembangkan LIPI dan menurut Richard, sudah mendekati perangkat lunak biasa. "Kalau hanya sebuah operating system, spreadsheet, presentasi, browsing, itu sudah dicoba, sudah dibuktikan tidak ada bedanya, hanya letak-letak icon saja. Sama dengan Bapak hari ini memakai Toyota, besok Mercedes terus bingung, lho rem tangannya di mana, remnya pindah. Tapi kan pasti semua mobil punya rem tangan. Bedanya itu," paparnya.

Diakui Richard, kendala terbesar adalah bagaimana IGOS bisa digunakan secara masif. "Kita sulit menjual obat rambut hitam kalau kita sendiri beruban. Bukan kendala lah, tapi perlu upaya lebih besar agar sistem ini dipakai. Feedback kan dari pengguna, kalau kita yang bikin pasti sudah hebat. Dan ini akan dikembangkan terus dengan arah yang benar, sehingga menjadi produk yang benar-benar qualified," katanya.

Di Kementerian Ristek, IGOS sudah dipakai dalam operasional sehari-hari. Asisten Deputi Promosi dan Komersialisasi Iptek, Dra. Dewi Odjar Ratna Komala, M.M. mengaku tak terlalu sulit "bermigrasi". "Untuk ukuran saya yang sudah tua dan sulit kalau harus belajar yang baru, ternyata bisa juga," kata Dewi di sela-sela peluncuran IGOS Nusantara 2006, IGOS-Source dan Lab IGOS Test Bed di Jakarta, Senin (4/12).

Penghematan biaya
Semangat "be legal" dan mendapatkan perangkat yang murah ini tampak dilakukan serius. Berapa penghematan yang bisa dilakukan, sambil tidak ketinggalan teknologi akan sangat besar. Biaya belanja software komersial tidak sekadar pembelian untuk program dasar. "Kita harus keluar uang lagi untuk beli program-program tambahan. Belum lagi kalau keluar program baru, semuanya harus diganti," kata Kemal.

Dari informasi yang didapat, Unpad misalnya menghabiskan biaya Rp 300 juta per tahun untuk membayar software. Tentu saja banyak institusi swasta atau pemerintah yang bisa menghemat biaya. "Kalau menggunakan IGOS ini, biaya yang keluar paling untuk pelatihan saja, tidak perlu sebesar itu," kata Dewi.

Selain aspek legal dan penghematan, sirkulasi keuangan negara dan peningkatan SDM menjadi fokus dari penggunaan IGOS. "Pertama be legal, kedua jangan digital divide, banyak di pulau-pulau lain yang keadaannya berbeda. Kalau kita biarkan, kapan mereka mau pinter, dan jangan lupa industri lokal. Regulasi dengan penguasaan teknologi, dengan lahirnya industri itu sesuatu yang nyambung. Untuk apa kita bikin benda baru yang terpaksa kita impor 100 persen. Lebih baik kita tunggu saja 10 tahun. Nah, cerita itu, be legal, digital divide dan bagaimana menumbuhkan industri lokal itu. Industri lokal itu, antara lain yang bikin program itu kan orang indonesia. Semua lokal kan. Buktinya mereka sekarang pinter bikin IGOS. Dan saya yakin, cukup kita dukung akan muncul versi yang lebih sempurna. Jangan lupa, DOS juga dulu DOS 1 dulu. Begitu sampai DOS 6 baru ngerti, dulu DOS 1 itu bodoh sekali," papar Richard.

Dalam instalasi, tersedia beberapa pilihan yaitu pertama, office dan productivity, tipe instalasi berisi paket-paket software umum untuk keperluan perkantoran dan administrasi. Kedua, software development, pada tipe instalasi ini paket-paket yang berguna untuk kegiatan pemrograman software. Ketiga, web server, tipe ini merupakan tipe khusus digunakan untuk keperluan server pada jaringan.

Untuk melengkapi dan penyempurnaan terus-menerus, Kemal menyebut pihaknya menyediakan fasilitas support group, akses melalui situs resmi http://www.igos-nusantara.or.id. Untuk media layanan penyimpan koleksi perangkat lunak untuk pengembang dan media penyebaran kepada pemakai dibangun repositori IGOS (IGOS-Source). Repositori ini bisa diakses di http://www.igos-source.or.id atau lewat e-mail di helpdesk@igos-source.or.id. "Apabila ingin software-nya, (bisa) dapat di Kantor Ristek (Jln. M.H. Thamrin Jakarta)," tulis pesan singkat dari Ristek.

Biar lebih banyak digunakan, perlu juga dititipkan di penjual program bajakan, di Jln. Ganesha atau pertokoan komputer. Legal, murah, dan mungkin peringkat Indonesia segera menurun atau hilang.

Siapa tahu.

*Dimuat di Pikiran Rakyat, 7 Desember 2006

Taman Nasional Gunung Leuser: Rakyat Menjaga, Aparat Menjarah*


SEPERTI desa kecil Galia yang tak pernah tunduk pada imperium Roma dalam komik Asterix, Tangkahan berhasil menghadapi belitan ”illegal logging” atau pembalakan liar yang menggerogoti ribuan hektare Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Penduduk Tangkahan, tak perlu ramuan ajaib untuk mengubur gergaji dan kampaknya. Mereka punya alasan sederhana, masa depan lebih baik bagi anak-anaknya.

Tinggal di pingiran hutan, berbagai jenis kayu di depan mata adalah harta karun. Sehokor Sembiring, Njuang Pinem dan seperti juga penduduk lainnya tinggal membawa gergaji dan kampak untuk menebang pohon, menghanyutkan gelondongan kayu di Sungai Batang Serangan. "Saya bisa dapat lima puluh ribu sehari," kata Okor--biasa ia disapa--mengenang masa lalu.***

*ditulis bersama Agus Rakasiwi dan dimuat di PR, 8 Mei 2006

Begitu pula dengan Njugang Pinem. Sejak awal tahun 1990-an, bersama lima orang rekannya, ia menebang setiap jenis pohon meranti. Dalam satu bulan ia mengaku mendapatkan lima ton kayu yang siap dikirim ke cukong di Tanjung Pura. Menurut Njuhang, aktivitas perambahannya itu memakan biaya cukup besar untuk mengatasi mata aparat keamanan. Tidak kurang dari Rp 25 ribu dikeluarkan untuk setiap petugas yang ditemuinya.

Barulah pada tahun 2001, Njuhang menghentikan kegiatan ini. Ia mengaku kasihan dengan warga desa lain di bawah Desa Sungai Serdang, Desa Namo Sialang, Desa Sungai Musam, Desa Bamban, dan Desa Batang Serangan, yang tertimpa bencana akibat pembalakan itu. "Kami sadar merusak hutan akan mengakibatkan bencana. Lagi pula hasilnya hanya untuk memperkaya pengusaha kayu," kata Njuang.

Okor lebih sial lagi, ia harus mendekam di penjara selama dua tahun. Tabungannya ludes selama proses itu, dan untuk kembali membalak ia ketar-ketir. "Saya memang punya sebidang tanah, tetapi yang saya pikirkan tiga anak saya. Kalau saya mati, mereka membagi tanah itu menjadi tiga. Mereka akan lebih miskin daripada saya," katanya.

Okor dan Njuhang kemudian berjuang mengubah Tangkahan agar tak tergantung lagi pada pembalakan liar. Dengan bantuan TNGL dan LSM Indecon, mereka membangun peluang peng hidupan lain melalui ekowisata.

Melalui perjuangan keras bertahun-tahun, akhirnya digelar kongres desa tahun 2000-an. Kongres ini menghasilkan peraturan desa yang melarang setiap aktivitas eksploitasi hutan dan satwa secara ilegal, sekaligus mendirikan lembaga yang mengatur pengelolaan ekowisata Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang diketuai Njuang. "Saya sempat dimusuhi. Dulu, orang tanya, kau digaji berapa apa dari taman nasional," kata Okor.

Tangkahan hijau kembali.

Selain mengandalkan pendapatan sebagai pengolah kebun sawit dan karet, mereka mendapat penghasilan dari mengelola ekowisata Tangkahan. Tentu saja, sebagai sebuah ekowisata, konservasi hutan menjadi faktor penting.

Sebagai daerah ekowisata, Tangkahan cukup menarik, karena merupakan kombinasi dari vegetasi hutan dan topografi yang berbukit. Sungai Batang Serangan dan Buluh yang jernih membelah hutan dan menawarkan panorama indah. Terdapat pula 11 air terjun, beberapa sumber air panas dan gua kelelawar.

Turis pun berdatangan, ada fasilitas trecking di hutan, tubing (menyusuri air deras dengan menggunakan ban dalam truk), pengamatan burung, orang utan dan kegiatan alam bebas lainnya. Berpayung kekuatan peraturan desa, pengelolaan ekowisata dilakukan sepenuhnya oleh penduduk desa. Para pemuda menjadi pemandu yang tergabung dalam "Community Tour Operator". "Sekarang, semua orang sudah menikmati hasilnya," kata Okor.

Pihak TNGL mempercayakan 1.800 ha areanya dijaga penduduk Tangkahan. "Di seluruh TNGL, model begini baru di Tangkahan. Isu-isu konservasi sudah tidak ada lagi di sini," kata Kepala TNGL, Wiratno.

**

Walaupun "hanya" 1.800 hektar, sekecil apapun upaya konservasi di TNGL memiliki arti yang sangat penting. TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan yang membentang dari Aceh hingga Sumatera Utara.Tempat yang telah menjadi world heritage ini juga dihuni oleh berbagai keanekaragaman spesies flora dan fauna, yang banyak di antaranya terancam punah. Terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia (Raflesia atjehensis), serta Rhizanthes zippelnii yang berdiameter 1,5 meter. Satwa langka dan dilindungi antara lain mawas/orangutan, siamang, gajah Sumatera, badak Sumatera, harimau Sumatera, kambing hutan, rangkong, rusa sambar, dan kucing hutan. TNGL juga dipenuhi kayu-kayu seperti meranti, keruing dan berbagai jenis kayu hutan yang mendominasi kawasan hutan dataran rendah.

**

Jika bagi penduduk Tangkahan, pembalakan adalah masa lalu, gelombang besar pembalakan justru semakin menjadi-jadi di wilayah lain(lihat peta gradasi). Pelaku pembalak sudah masuk hingga ratusan kilometer ke dalam hutan. "Kalau di Jawa perlu 100 tahun untuk menghabiskan hutan, di Sumatera hanya perlu 30 tahun," kata Wiratno.

Wiratno sempat menampilkan beberapa foto pejabat yang tampak beramah-tamah dalam sebuah acara. "Ini bupati, yang ini ketua DPRD, dan yang berperut besar ini pengusaha terkenal," katanya. "Mereka ini semua pelaku illegal logging."

Keterlibatan aparat juga dicontohkan Wiratno dalam beberapa kasus dan temuan (lihat tabel tangkapan). "Dengan membawa GPS, saya membuat peta lokasi pembalakan, lengkap dengan pelaku, saya sudah serahkan ke pusat, sampai sekarang belum ada tindak lanjut," ujarnya.

Akibat pembalakan liar ini, kawasan TNGL yang meliputi luas 792.675 hektar terancam rusak. Walhi mencatat setidaknya lebih dari 6.300 hektar hutan sudah dirambah. Sejumlah daerah aliran sungai (DAS) besar yang hulunya berada di Kawasan Ekosistem Leuser makin kritis. Sehingga di musim hujan sering menimbulkan kebanjiran dan kekeringan di musim kemarau. Masyarakat di Aceh dan Sumut juga sangat bergantung kepada jasa "hidrologis" Leuser.

Apabila hutan Leuser rusak, menurut sebuah penelitian, nilai suplai air untuk kebutuhan hidup yang akan hilang mencapai Rp 16 triliun. Namun, berhadapan dengan pembalakan liar seperti menghadapi gurita raksasa yang tangannya membelit di mana-mana. Pejabat dan aparat jauh lebih sulit untuk diurus, antara lain karena nilai uang yang mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang mengalir. "Satu saat, (mobil) Innova baru seorang pejabat itu terguling saat masuk hutan. Besoknya, dia sudah memakai (mobil) X-Trail," kata Wiratno.

Sambil terus mengupayakan penegakan hukum yang sungguh-sungguh terhadap pembalakan liar yang melibatkan pejabat dan aparat, model kerja sama yang dikembangkan di Tangkahan akan terus dikembangkan. Kegiatan konservasi tidak dapat berjalan tanpa disertai peran aktif masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Untungnya rakyat kecil, seperti di Tangkahan, jauh lebih bijak daripada pejabatnya yang membalak. "Tak ada sekolah di sini. Mereka harus hidup dari alam, dan saya yakin hidup mereka lebih baik dengan menjaga hutan ini," kata Okor menutup pembicaraan.

Gajah yang Makin Terjepit*

KONFLIK manusia dengan gajah saat ini tengah menghangat, seiring dengan pembukaan lahan di beberapa daerah. Gajah adalah satwa yang menyukai aktivitas di kawasan hutan sekunder dataran rendah. Di kawasan ini, mereka dengan mudah menemukan jenis makanan seperti akar, cabang muda, rumput, termasuk umbi-umbian dan buah. Mereka kesulitan mencari makan di wilayah dengan jurang dan sungai dengan tebing yang curam atau di kawasan hutan primer.

Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memiliki luas satu juta hektare tidak semuanya cocok untuk kehidupan gajah. Wilayah hidup di TNGL tidak lebih dari 15 persen. Salah satunya adalah di kawasan Sikundur. Gajah-gajah itu tinggal di areal seluas 40 ribuan hektare. Ada pula yang berada di di luar area TNGL seperti di kawasan Ulu Masin, di Aceh Barat, Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Jaya.Tapi habitat itu, kata Wahdi Azmi dari Flora dan Fauna Indonesia (FFI) kian terganggu dengan aktivitas perambahan dan pembukaan areal perkebunan sawit.

Sementara ini, Indonesia sudah punya 3 juta hektare lahan dan sebagian besar di Sumatra sekira 1, 5 juta hektare lahan sawit. Angka itu akan terus bertambah seiring keinginan pemerintah untuk menjadi produsen sawit terbesar di dunia mengalahkan Malaysia. Pemerintah akan mentargetkan 30 juta hektare lahan perkebunan sawit.

Dan untuk mencapai target itu, ratusan ribu hektare lahan hutan dikonversi setiap tahun menjadi kebun sawit. Sebagian besarnya adalah habitat gajah yang tersisa yang tidak banyak itu.Tersudutnya gajah oleh aktivitas manusia melahirkan konflik. Maksud hati ingin mencari makan, malah manusia merasa areal perkebunan dan aktivitasnya kena amuk gajah liar. Alhasil, ada gajah yang disetrum, dikuliti, yang jantan diambil gadingnya, atau bahkan diracun.

Hal itu terjadi di hutan batas antara Sumut dengan Riau. Ada 6 ekor gajah yang mati diracun. Pihak terkait baru menangkap pelaku yang meracun 12 ekor. Sebelumnya ada yang 17 ekor yang diracun di Barubun. Dan tidak terungkap.Gajah pun tidak tinggal diam. Mereka pun balik melawan kepada manusia. Wahdi mengatakan bahwa hal itu karena sejarahnya gajah-gajah itu mengalami ritual penangkapan dikejar-kejar, diteriaki, ditembak bius, dan ditarik dengan segala macam benda.

Sisa populasi yang ada mulai belajar dan mengenali manusia sebagai spesies yang berbahaya. Mereka menjadi agresif.Kepunahan pun makin kian nyata, ketika manusia pun mulai melihat keuntungan materi dari perburuan gajah. Gading gajah jantan merupakan produk yang menghasilkan uang jutaan rupiah. Wahdi mengatakan di beberapa tempat, jantan sedikit sekali. Dalam satu kelompok yang terdiri dari 15 ekor gajah, jantannya tidak lebih dari tiga ekor. Dan, Gajah betina membutuhkan waktu selama 18-22 bulan untuk bunting dan hanya melahirkan setiap 3-4 tahun sekali. "Walaupun habitat gajah banyak kalau semuanya betina ya akan menjadi kelompok yang punah juga," katanya.

Tahun 2002 silam, FFI bekerja sama dengan TNGL, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Aceh dan Bengkulu mendirikan sebuah unit ”pasukan gajah” terlatih Conservation Response Unit (CRU). Unit ini tersebar ke dalam beberapa wilayah di antaranya di Krueng Saree, Aceh, dan Seblat, Bengkulu. Di Sumatra Utara ada dua tempat, salah satunya di Tangkahan.

Selain mempunyai tugas "berpatroli" dalam hutan untuk mengatasi pembalakan liar, CRU juga bertugas mengatasi masalah konflik manusia dan gajah. Kegiatan CRU biasanya untuk menggiring kembali gajah itu masuk ke kawasan hutan. Melihat topografi hutan yang tersisa tinggal wilayah pegunungan yang terjal sehingga sulit bagi gajah untuk melakukan migrasi singkat selain melewati areal manusia.

Tapi apakah manusia mau mengalah kepada gajah?

*ditulis bersama Agus Rakasiwi dan dimuat di PR, 8 Mei 2006