Saturday, March 22, 2008

Replikasi Justru Dilakukan di Luar Negeri*


SUNGAI Ciasem yang membelah Desa Cinta Mekar menjadi berkah bagi desa itu. Bukan hanya mengairi persawahan, aliran airnya digunakan menjadi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Dari PLTMH itu, setiap bulan, koperasi desanya mendapat pemasukan Rp 4,7 juta. Dari bendungan kecil, air sungai sebagian dialirkan ke sebuah irigasi permanen. Berjarak 400 meter dari bendung itu, air ditampung dalam kolam penampung dan kolam penenang sebelum dialirkan ke pipa pesat, masuk ke turbin, dan kembali ke sungai Ciasem. Dari keseluruhan debit 1.500 liter per detik aliran yang dibelokkan ke saluran run-off tersebut, sebanyak 1.100 liter per detik air dijatuhkan dalam dua pipa pesat dari ketinggian 18,6 meter.
Kekuatan air tersebut diubah oleh dua turbin kembar untuk menghasilkan daya maksimal 120 kilowatt. Sementara debit 400 liter per detik, diteruskan oleh irigasi teknis tersebut untuk mengairi puluhan hektare sawah. "Semua diakomodasi, tidak ada yang dirugikan. Pertanian bisa berjalan, alam terjaga, potensi energi listrik juga termanfaatkan secara optimal. Bukan saja untuk pelistrikan desa, tetapi juga pemberdayaan masyarakat," kata Tri Mumpuni, dari lembaga swadaya masyarakat, Yayasan Ibeka.
Kepala Dusun Tangkildua, Wahdi (55) mengaku, sejak pembangungan PLTMH Cinta Mekar ini, pengairan sawah di dusunnya jauh lebih terjamin. "Ada 40 hektare sawah di dusun saya, sekarang ini walaupun musim kemarau, kami tidak terlalu kesulitan air. Apalagi sejak awal ada perjanjian, lamun halodo kajeun nutup (PLTMH)," kata Wahdi yang mengaku memiliki 50 bata (tumbak) lahan sawah.PLTMH di Cinta Mekar diresmikan 17 April 2004 oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Purnomo Yusgiantoro. Inisiator projek sekaligus penyandang dana PLTMH ini terdiri dari UN-ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), PT Hidropiranti dan Ibeka.
Cinta Mekar boleh dibilang beruntung, UN-ESCAP memberi dana hibah 75 ribu dolar AS untuk membangun PLTMH berkapistas maksimum daya 120 kilowatt. Separuh dana lain ditanggung oleh PT Hidropiranti. Yayasan Ibeka sendiri mengeluarkan sejumlah dana yang sama untuk kepentingan diseminasi dan fasilitas training. Seluruh hasil produksi PLTMH ini dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan harga Rp 432,00 per Kwh.
Setelah beroperasi, PLTMH ini meraup pemasukan sebesar Rp 25,920 juta per bulan. Jumlah ini didapat dari rata-rata produksi 100 KW x 24 jam x 25 hari x Rp 432,00. Setelah dikurangi depresiasi, biaya operasi, dan pemeliharaan sebesar Rp 15,5 juta, didapat keuntungan bersih Rp 10,420 juta. Keuntungan inilah yang dibagi dua antara PT Hidropiranti dengan koperasi Mekarsari.
Menurut Wahdi, dalam 17 bulan pertama pemasukan bagi desa ini dibagi untuk kepentingan pelistrikan 62,5 persen, pendidikan (8 persen). Sisanya untuk kesehatan, permodalan, infrastruktur desa, pengelolaan desa dan biaya rutin koperasi. "Bagi yang tidak mampu, pemasangan listrik diberikan gratis. Sisanya sistem diskon, ada yang 75 persen dan seterusnya, tergantung kemampuan warga," katanya.
Setelah 17 bulan dan semua warga mendapat fasilitas listrik, alokasi digeser. Pendidikan, beasiswa, dan pelatihan untuk penduduk dewasa mendapat alokasi 65 persen, alokasi kesehatan 16 persen, permodalan 7,5 persen, infrastruktur desa 4 persen, kontribusi operasional desa 2,5 persen, dan biaya operasional koperasi sebesar 5 persen. "Sekedar perbaikan gorong-gorong sudah ada dananya, di koperasi juga mendirikan posyandu," kata Ase Muslihat (37), warga desa yang mendapat tugas sebagai operator PLTMH.
Pembangunan PLTMH Cinta Mekar boleh dibilang kisah sukses yang berlangsung relatif mulus dibandingkan pembangunan PLTMH-PLTMH lain, seperti di Curug Agung. PLTMH Curug Agung yang juga di Kec. Sagalaherang memiliki perjalanan yang cukup sulit.
Di tahun 1990, daerah itu belum tersentuh listrik. Setelah melalui proses persiapan, akhirnya konstruksi dibangun dan selesai Februari 1991. Menggunakan turbin crossflow T-7, dihasilkan tenaga listrik 12,5 kilowatt. Dengan jumlah pelanggan mencapai 121 keluarga, investasi yang ditanamkan warga desa diperkirakan akan kembali dalam tujuh tahun.
Namun, pada tahun 1995, PLN masuk dan memasang jaringan di desa itu. Saat itu, seorang penduduk yang menanamkan investasi mengalami stress, karena khawatir cicilan sebesar Rp 600 ribu per bulan tidak terbayar, karena pelanggan berpindah ke PLN. Maklum, tarif PLN saat itu adalah Rp 112,00 per-Kwh, sedangkan harga PLTMH adalah Rp 290,00 per Kwh. Walaupun ternyata hanya sebagian kecil yang pindah.
Malang tak bisa ditolak, pemilik modal tersebut akhirnya meninggal. "Ini sangat menyentuh, saya kemudian berjuang agar produksi PLTMH ini dibeli oleh PLN," kata Tri. Selama lima tahun Tri berjuang sebelum akhirnya jaringannya disambung dengan PLN pada tahun 2000. Kini pewaris PLTMH Curug Agung mendapat pemasukan rutin tiap bulan.
Keterlibatan
Menurut Tri, hal terpenting dalam pembangunan PLTMH seluruh proses pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan melalui musyawarah penduduk. Bukan hanya soal alokasi, tetapi juga bagaimana mereka menyusun klasifikasi penduduk yang berhak mendapat bantuan. "Kalau diputuskan sendiri, sulit ada yang mau berpura-pura. Transparan sekali. Lucunya mereka rapat dua atau tiga hari, bahkan ada yang sengaja tidak jualan. 'Ini kan menyangkut masa depan ya Bu Tri'," papar Tri.
Keterlibatan masyarakat setempat sejak awal, kata Tri, menjadi faktor penting dalam pendirian dan keberlanjutan PLTMH. "Secara teknologi, tak ada masalah, tetapi yang penting bagaimana masyarakat terlibat. Ketika tim sosial masuk semua aspek berusaha disentuh. That is development," tandas Tri yang kemudian terpilih sebagai fellow Ashoka.
Kegiatan sosial-kemasyarakatan dilakukan mulai dari persiapan masyarakat yaitu pencatatan data awal dan pembentukan organiasi. Kemudian diikuti oleh pembentukan kapasitas dan kepemilikan (baca: PLTMH Berbasis Masyarakat). Keterlibatan dan pemberdayaan ini menjadi kunci keberlangsungan projek yang ada. Dari 60 PLTMH yang telah dibangun, penduduk mengorganisasi sendiri seluruh perawatan, pengorganisasian, hingga pola penagihan terhadap pelanggan.
Di salah satu PLTMH di Cikalong, penduduk bahkan sudah mengadopsi komputerisasi. "Dalam membantu penduduk untuk mandiri, ujungnya adalah to make us out of work. Kalau masih nggondoli itu namanya menciptakan ketergantungan," kata Tri. Ibeka juga membangun fasilitas training di Desa Pabuaran, tidak jauh dari lokasi PLTMH Cinta Mekar.
Fasilias ini secara rutin dikunjungi delegasi berbagai negara yang belajar mengenai pengelolaan PLTMH berbasis masyarakat. "Di negeri sendiri belum ada upaya replikasi. Malah replikasi ini banyak dilakukan di luar negeri," ujar Tri.***
*Tulisan ini teh kemudian jadi juara III kompetisi jurnalistik nasional "Social Entrepreneurship Toward Better Indonesia" 2008, yang digelar Ashoka

No comments: