Thursday, August 23, 2007

"Milih Rabi, Mindah Rasa"



MAK Yaya--yang sudah lupa usianya sendiri--asyik mengumpulkan batu-batu yang berserakan di pinggiran galian. Para penggali yang juga bekerja keras mengangkat pasir dan batu dari dalam tanah tak terlalu peduli dengan keberadaannya.

Setelah dapat mengumpulkan sekarung batu, ia memikulnya dengan bantuan sinjang. Ia berjalan ratusan meter, jalan menanjak menuju rumah. Tangan kanannya mencencang seember penuh batu lainnya.

Batu-batu itu sudah ditunggu oleh Emed, suaminya, yang ingat betul usianya sudah 78 tahun. "Nini mah, tikapungkur keneh ngempelkan batu teh," kata Mak Yaya.

Kampung Panarosan yang merupakan bagian wilayah Desa Cimangkok, Kecamatan Sukalarang, Sukabumi adalah salahsatu daerah penghasil pasir dan batu. Pengendara dari Cianjur ke Sukabumi pasti turut merasai produksi pasir itu saat harus menyalip atau berpapasan dengan truk-truk pasir di wilayah itu.

Bagi Mak Yaya tidak ada pekerjaan lain baginya. Di lain, waktu ia mengumpulkan sisa-sisa pasir yang jatuh dari truk di pinggir jalan. Sedikit demi sedikit dia kumpulkan.

Satu dolak (mobil pick-up kecil) dihargai Rp 50.000,00. Butuh waktu kurang lebih sebulan untuk itu. "Ah, da tos nini-nini kieu, sakengingna wae (Sudah nenek-nenek begini, sedapatnya saja-red.)," ujarnya.

Berbeda dengan pasir yang bisa langsung dijual, batu perlu dipecah menjadi lebih kecil. Yang "diangkat" oleh mobil hanyalah batu split. Inilah tugas Emed. Sejak pagi, Emed sudah duduk di bawah pohon di depan rumahnya, memecah batu-batu sebesar kepala dengan palunya hingga sore tiba.

Harga batu-batu yang sudah dipecah itu juga tidak berbeda, sekira Rp 50.000 per dolak. "Upami waktos na mah tara tangtos, tiasa langkung ti satengah bulan (Waktunya tidak pasti, bisa lebih dari setengah bulan)," kata Emed.

Batu-batu yang dikumpulkan istrinya, satu per satu dipecah dan dilempar ke tumpukan batu di dekatnya. "Nu ieu mah rada mirah, da kirang sae," lanjutnya.

Di pekarangan samping rumahnya itu, terkumpul setumpuk batu yang mungkin baru bisa mengisi seperempat dolak. Aki Emed mengaku sudah berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya tinggal di Panarosan. "Hirup mah milih rabi mindah rasa, sugan di dieu aya kabungah," kata Emed.

Dari pekerjaannya itu, Emed telah membesarkan tujuh anak, dan kini hidup bertiga dengan salah seorang cucunya. "Anu istri mah tos dicarandak ku carogena (Yang perempuan dibawa oleh suaminya-red.)."

Rezeki yang didapatnya walaupun hanya dihargai sedikit lebih dari Rp 50.000,00 untuk hidup sebulan disyukurinya. "Milikna sakitu, dan tanagana ge sakieu, asal cekap dahar jeung nganggo," katanya.

Mak Yaya sempat masuk ke dalam rumah, keluar dengan satu teko plastik dan tiga gelas kosong. Ia mengisinya sambil menawarkan satu sisir cau muli. Tehnya benar-benar terasa khas dan hangat.

Tanpa disadari, bekal yang dibawa Mak Yaya terjatuh ketika menyuguhkan pisang. Segenggam nasi bercampur mi instan dalam kemasan plastik mi instan.***


Friday, August 17, 2007

Buniayu tak Sekadar Indah


BUNYI gemericik air melewati lubang batu dan jatuh menjadi satu-satunya suara yang bisa dinikmati telinga, menemani keindahan canopy dan gordam mendapat cahaya dari "boom". Inilah keindahan yang tersembunyi dalam Gua Angin yang merupakan salahsatu dari rangkaian Gua Buniayu di Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi.

Sesuai namanya, ketika memasuki pintu gua Buniayu--yang diambil dari bahasa sansekerta yang berarti "keindahan yang tersembunyi"--kegelapan menyergap. Suasana gua yang sunyi dan gelap segera menyambut tempat yang juga dikenal dengan nama gua siluman. Api dari ”boom” yang menyala di bagian depan helm pemandu menjadi satu-satunya sumber cahaya.

Untuk mencapai gua yang berada di kawasan formasi karst Nyalindung ini, kita membutuhkan waktu sekira 45 menit untuk menempuh jarak 26 km dari Kota Sukabumi. Posisi Buniayu berada 1.700 meter di atas permukaan laut, dan , berada dalam kawasan Wana Wisata KPH Sukabumi, Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Secara keseluruhan, Buniayu memiliki 82 buah mulut gua yang sudah ditemukan posisinya dan diperkirakan masih memiliki ratusan lagi yang belum dieksplorasi. Di tempat ini sudah ada fasilitas yang disediakan oleh pengelola memudahkan pengunjung saat berwisata menelusuri gua atau yang terkenal dengan nama caving.

Ketika Anda mengunjungi Buniayu, terdapat dua pilihan petualangan, minat umum dan khusus. Jangan khawatir soal perlengkapan. Untuk jalur khusus, peralatan standar seperti helm, sepatu boot, jaket dan ”boom” sudah tersedia. Begitu pula dengan jalur khusus, peralatan tambahan seperti tali, pengait dll. juga telah disediakan.

Boom (generator carbide) adalah alat yang berupa tabung dan dihubungkan dengan sebuah selang ke helm. Terdiri dari dua bagian, tabung alas berguna untuk menampung air, yang dilengkapi dengan regulator saluran gas dan lobang tempat pengisian air. Tabung bawah digunakan untuk mengisi karbit. Api menyala di helm bagian depan menjadi penerangan sepanjang perjalanan.

Kategori minat umum adalah pilihan paling "ringan", baik itu biaya, Rp 10.000,00 ataupun waktu dan jarak tempuhnya untuk menyusuri jalur horizontal Gua Angin. Di ujung perjalanan, kita bertemu chamber besar. Di chamber inilah canopy menitikkan air yang disambut oleh gourdam di bawahnya. Daya tarik lainnya, air ini dipercaya bisa membuat awet muda. Percaya atau tidak, yang jelas mencuci muka di tempat itu membawa kesegaran tersendiri setelah berjalan di dalam gua.

Untuk kategori minat khusus, dibutuhkan persiapan yang lebih serius. Kategori ini membutuhkan stamina fisik dan mental yang kuat. Jalur ini memakan waktu 4-5 jam perjalanan. Biaya sebesar Rp 60.000,00 per orang.

Jalur khusus ini menyediakan petualangan vertikal menuruni Gua Kerek. Sesuai namanya, ketika menuruni Gua Kerek para peserta harus dikerek (ditarik) dengan tambang satu per satu. Gua ini memiliki kedalaman vertikal sekitar 25 meter.

Perjalanan dilanjutkan untuk sampai di Gua Bibijilan sepanjang beberapa. Sepanjang perjalanan, kita seolah berada dalam terowongan air raksasa dengan air sebatas betis.

Dicky Risyana (PR, 17 Desember 2005) mencatat, gua Buni Ayu yang juga dikenal dengan sebutan Gua Siluman, pertama kali dipetakan oleh ahli gua Indonesia, Dr. R.K.T. Kho bersama ilmuwan Prancis Goerge Robert, Arnoult Sevau dan Michel Chasir pada tahun 1982. Ekspedisi ini memetakan lorong-lorong bawah tanah sepanjang 3.300 m.

Diketahui pula, gua yang berada di ketinggian 850 m dpl ini terbentuk akibat pelarutan dan pengikisan air hujan terhadap lapisan batuan gamping selama ribuan tahun. Gua Buniayu memiliki puluhan lorong yang saling berhubungan. Yang biasa dilalui yaitu lorong gua Landak, lorong minat khusus, lorong Cisapi, serta lorong vertikal yang berkedalaman 30 meter.
Jadi di mana gua siluman yang justru membuat penasaran itu? "Gua siluman sebenarnya baru bisa dilihat jika Anda memilih jalur khusus," kata Dave M. Hutabarat, anggota sebuah perkumpulan speleologi yang terdaftar dalam Hikespi (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia).

Dave menceritakan, dalam gua siluman, terdapat chamber siluman. "Dalam chamber itu, terdapat sekumpulan stalagmit dengan stalagmit tinggi berada di tengah, jadi seperti ada rapat 'siluman'," katanya berseloroh.

Dave menyebut itu sebagai daya tarik, seraya menekankan pentingnya konservasi kawasan karst di Buniayu. "Banyak sekali fungsi kawasan seperti ini, antara lain sebagai pengelolaan air alami, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, wisata, dan banyak lagi," katanya.

Buniayu boleh cemburu pada kawasan karst di Gombong Selatan dan sekitarnya yang telah menjadi kawasan konservasi ekokarst nasional dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Desember 2004 lalu. "Konservasinya lebih terjamin dengan itu," kata Dave.

Banyak sekali fungsi dari kawasan karst, antara lain sebagai sumber air bagi pertanian, sumber pembangkit listrik, sebagai laboratorium alam karena gua memiliki biota, sistem hidrologi dan unsur lain yang spesifik, selain yang baru saja saya lakukan, berwisata dan bertualang.***

Moto Speleologi (dari NSS AS):
Jangan mengambil sesuatu, kecuali gambar
Jangan meninggalkan sesuatu, kecuali jejak
Jangan membunuh sesuatu, kecuali waktu
Jenis Ornamen Gua Angin dan Gua Kerek
- Stalaktit, berbentuk menyerupai ujung tombak
- Stalakmit, terletak selalu di bawah stalaktit
- Drapery, berbentuk seperti sirip ikan hiu
- Gourdam (baby gourdam, mikro gourdam), berbentuk kubah dengan tekstur permukaan menyerupai petakan sawah
- Canopy, berbentuk seperti payung
- Flow stone, berbentuk seperti air terjun beku
- Column, berbentuk seperti pilar yang awalnya adalah stalaktit dan stalakmit yang sudah menyatu
Spesifikasi Gua Kerek (Vertikal-Horizontal)
Kedalaman lubang vertikal: �-30 meter (pintu masuk)
Panjang lorong horizontal: �-1,5 km (waktu tempuh 5-7 jam menuju lubang keluar horizontal).

Sunday, August 12, 2007

Menjelajah Garut di go.id

SEPERTI padatnya arus mudik Lebaran di Nagreg, kunjungan ke "garut" melalui "go.id" tiba-tiba melonjak, Senin (9/4). Pencatat arus kunjungan Google analytics mencatat dua kali lonjakan luar biasa, Kamis (5/4), dan mencapai puncaknya Senin (9/4) lalu. Dari rata-rata 200 kunjungan (dan lebih dari 400 pageviews) per hari, Senin tercatat lebih dari 1.400 kunjungan dengan lebih dari 2.000 pageviews.

Bukan hanya 3.398 orang di Indonesia yang bersama-sama berkunjung ke lokasi itu dalam hitungan sepekan terakhir. Ratusan orang di Belanda (98 kunjungan), Jepang (85), Australia (51), AS (49), Hong Kong (39), Singapura (40), Malaysia (36), dll. menjelajah garut.go.id dalam rentang waktu yang sama.

Apa yang membuat Garut mendadak begitu menarik untuk dikunjungi tampaknya adalah dua gelar bergengsi, yaitu sebagai situs resmi pemerintahan terbaik dan situs favorit yang diberikan dalam malam anugerah "Bubuawards v.05 2007", di Museum Gajah, DKI Jakarta, Rabu (4/4) malam. Dua gelar ini yang memicu sekitar 1.200 kunjungan keesokan harinya. Setelah itu, secara konstan kunjungan ke garut.go.id mencapai kira-kira 250-an per hari hingga puncak kedua.

Mungkin bukan kebetulan, puncak kunjungan itu terbentuk usai Pikiran Rakyat (dan dotcom-nya) menurunkan berita "Situs Pemkab Garut Raih Dua Penghargaan", Senin (9/4). Dari data yang ada, pengunjung baru mencapai 79,96 persen, sementara sisanya adalah returning visitor. Data direct visit (kunjungan langsung) mencapai angka 66,88 persen, sisanya terbagi antara pengunjung yang melalui bubuawards (17,33 persen), dan pengunjung yang lewat situs pencari Google (10,03 persen). Yang pasti, saya langsung membuka www.garut.go.id setelah membaca berita itu.

Dengan latar berwarna biru muda, di sisi kiri layar ada delapan pilihan di menu utama. Rubrik lain di bawahnya ada menu pilhan, pelayanan, antarkita, jajak pendapat, agenda, dan statistik pengunjung. Di bagian kanan ada "Wawar", info harga dari pasar Guntur, jadwal shalat, buku tamu, dan serba-serbi. Sementara di tengah, terdapat banner ulang tahun Kabupaten Garut, dan rubrik Fokus yang menawarkan subdomain Pariwisata dan Budaya, Produk Hukum, dan Profil Kecamatan, sebelum Berita Garut.

Ketika kursor berhenti di menu-menu utama itu, submenu langsung muncul dan dengan mudah menavigasi kita untuk membuka topik dan halaman-halaman yang diinginkan. Sederhana sekali.

"Kami berusaha membuatnya seperti standar situs, misalnya standar user interface (merekomendasikan) maksimal tiga kali klik (pengunjung) sudah sampai di informasi yang diinginkan. Kami yakin, standar yang dibuatkan sudah merupakan hasil kajian dan penelitian, dan kami ingin mencapai standardisasi yang telah ada," kata webmaster garut.go.id.

Dari delapan menu utama, menjelajah garut.go.id relatif agak terpuaskan. Di Sekilas Garut, tersedia Sejarah Singkat, Bupati Garut Dari Masa ke Masa, Potret Garoet Tempo Doeloe (ada foto Soekarno di Babantjong), Potret Garut Masa Kini, Geografi, Wilayah Administratif, Lambang Daerah, Visi Misi dan Strategi, serta Peta (Peta Administratif Kecamatan, Peta Garut di Jawa Barat dan Peta Lainnya). "Foto dan nama-nama bupati ada, ini kan menarik, dan masyarakat bisa mengakses itu," kata Bupati Garut, H. Agus Supriadi.

Kekhasan Daerah yang ditempatkan di baris kedua, dengan menampilkan produk khas (Jeruk Garut, Domba Garut, Dodol Garut, Batik Tulis Garutan, Jaket Kulit Garut, Kulit Tersamak, Minyak Akar Wangi), cendera mata (Tenun Ikat Sutra Alam, Aneka Kerajinan Kulit, Kerajinan Akar Wangi, Aneka Kerajinan Bambu, Batu Aji, dan Aneka Kerajinan Bulu Unggas), Makanan Khas, Seni Tradisional, Special Events, Benda Sejarah.

Setelah itu, kita bisa melangkah ke informasi Pariwisata, Pemerintahan, Pelayanan Publik, Legislatif, Sumber Daya Alam (Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Pertambangan, Sumber Daya Air), Lingkungan Hidup, Panas Bumi, Sosial Budaya, Demografi, Penduduk Rawan Sosial dll. Data anak terlantar, dari 2001 hingga 2005 yang melonjak dari 59 ribuan menjadi lebih dari 100 ribu.

Inilah sedikit bedanya dengan situs pemerintahan lain, seluruh menu dan submenu datanya telah terisi.

Arsip berita bisa terlacak mulai dari 2 Oktober 2004, sementara data-data umum dan tabel monogram tahunan bisa dipantau data tahun terakhir (2006). "Info dan data ini secara dinamis terus kita kembangkan," kata Kepala Bidang Informasi dan Telematika Kab. Garut, Eka Harianto.

Data pariwisata yang bisa di klik di banner kecil boleh jadi salah satu andalan di garut.go.id. Berbeda dengan Bandung, atau bahkan Jakarta, informasi hotel tidak sekadar nama dan alamat, tetapi juga ilustrasi, paparan hingga rate. "Kedalaman informasi kami upayakan, dan sub-domain pariwisata merupakan salah satu yang paling siap, termasuk link ke situs hotel, kalau mereka punya," kata Patria.

Dua sub-domain lain yang ditempatkan di banner adalah produk hukum dan profil kecamatan. Profil kecamatan di sini memang jauh lebih lengkap daripada situs Kota Bandung, misalnya.

Kelengkapan isi memang mendapat perhatian penting dari tim telematika Kabupaten Garut. "Untuk kategori situs pemerintahan, kelengkapan content menjadi fokus penilaian yang cukup tinggi," timpal Patria. Maklum, situs-situs pemerintah dan pemerintah daerah, jabar.go.id terdapat banyak lahan kosong ketika kita mencoba menjelajah ke sana.

E-government atau penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah memang menawarkan revolusi dalam koordinasi, transparansi dan interaksi pemerintah dengan masyarakatnya. Namun, ternyata hal itu tidak semudah dan secepat kita menjelajah di jaringan teknologi informasi itu. Pengisian data di situs pemerintahan, bukan hanya terkendala pengisian, sering kali data tersebut bahkan belum terkelola dan tersedia di instansi yang terkait. Atau, walaupun ada, sering kali terhalang kebijakan atau ketakutan ada data yang diduga akan memberi impresi negatif.

Luas areal yang hanya 350 megabyte (termasuk 250 megabyte untuk mail hosting) sering kali hanya tersisa kurang dari 10 persennya. "Ya, harus sering menghapus yang ini untuk memasukkan yang baru, atau kita juga pakai jatah mail hostingnya," papar Patria.

Ketersediaan isi di seluruh menu dan submenu setidaknya menunjukkan tingkat koordinasi "pengisian" situs sudah relatif jauh lebih baik. "Untuk itu, sistemnya jemput bola dan juga lewat surat, SKPD juga bisa mengisi sendiri, dengan form yang sudah disiapkan," kata Eka. Sedikit "tekanan" menjadi bumbu dalam resep pengumpulan data itu. "Suratnya bisa dari Sekda atau Bupati, sehingga lebih "didengar", selain itu komitmen dari SKPD sendiri yang harus mendukung. Di sini sudah cukup bagus," lanjutnya.

Patria menyebut hal ini sebagai e-leadership. "Maksudnya, pimpinan memberi support terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan situs ini," katanya.

Kerja keras ini, setidaknya dinilai sekitar 50-an juri dan juri kehormatan memenuhi kriteria yang ditentukan, mulai dari best content hingga best usability yang terdiri atas learnability, efficiency, memorability, error dan satisfaction. Di bubuawards.com dipaparkan, learnability berarti seberapa cepat pengguna bisa mengenali fitur dalam situs. Efficiency adalah seberapa efisien pengguna mendapatkan manfaat. Memorability adalah kemudahan pengguna mengingat proses pencarian dalam kunjungan berikut.

Jurinya sendiri terdiri atas nama-nama besar di tingkat nasional dan internasional mulai dari produser film, perancang situs, praktisi, dan pakar (www.bubuawards.com). "Apa yang telah kami lakukan adalah sekadar memenuhi standar minimal informasi dalam situs," kata Eka bermaksud merendah.

Dampak strategis

E-government sebetulnya menyediakan fasilitas yang lebih dari sekadar informasi, yang lebih bersifat pintu pembuka saja. E-government, tulis Windraty S. dalam situs garut.go.id antara lain ditujukan untuk menciptakan pelayanan online, bukan inline atau antrean, pelayanan tanpa intervensi pegawai hingga tujuan-tujuan mencapai tata pemerintahan yang baik.

Bersama dengan itu, produktivitas dan efisiensi lebih berpeluang terkelola dengan lebih baik. Interaksi yang meningkat memungkinkan masyarakat mengakses informasi dengan lebih aktif dan memperluas partisipasi untuk membangun transparansi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Praktik e-government sendiri telah dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 6/2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informasi). Inpres ini antara lain menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi.

Idealnya, kata Patria, tahapan situs, setelah publikasi dan interaksi adalah transaksi. Di hubungan pemerintah-masyarakat ini bisa berbentuk pelayanan, pembuatan KTP misalnya. "Kalau modul atau aplikasinya sih semua sudah ada, tapi daya dukungnya harus siap," kata Patria.

Bentuk hubungan lain adalah peluang masuknya investasi. Dengan informasi yang menyebar luas, peluang masyarakat lebih mengenal Garut dan kemungkinan masuknya investasi jadi terbuka. "Secara terukur memang belum bisa dilihat langsung, tetapi dari melihat internet, ketika ada orang membutuhkan sesuatu bisa menindaklanjutinya," kata Eka.

Fasilitas langsung investor masuk lewat garut.go.id, diakui Eka memang belum ada. "Tetapi dari pertanyaan-pertanyaan lewat e-mail, termasuk ke webmaster-nya terlihat ada minat ke arah itu," ujarnya.

Melangkah lebih jauh hingga pengelolaan investasi memang belum memungkinkan. Patria mencontohkan banyaknya dotcom yang bangkrut justru ketika era dotcom sangat menjamur. "Karena tidak siap, banyak order yang tidak bisa di-follow-up misalnya. Nah, back office-nya harus benar-benar kuat," lanjutnya.

Untuk situs pemerintahan, hal yang sama juga terjadi. "Selain itu, karakter situs pemerintahan sebenarnya lebih ke pelayanan, pembuatan KTP online misalnya, aplikasinya sebenarnya tidak sulit," katanya. Tetapi dalam praktiknya, integrasi data, koordinasi lintas institusi terkait hingga optimalisasi data masih membutuhkan kesiapan tata pemerintahan yang lebih baik, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi daripada Garut.

Sehingga, lanjut Patria, kuncinya adalah back office atau dapur yang kokoh. Back office ini sendiri tidak sekadar data yang cukup, tetapi merentang mulai dari tataran kebijakan, tata pemerintahan, prioritas, anggaran, sumber daya manusia, hingga yang teknis pengelolaan situsnya sendiri. "Untuk saat ini kan ICT belum jadi prioritas," kata Eka.

Memang harus diakui, untuk kota sebesar Garut dengan tingkat penetrasi internet memang masih jauh dari jumlah yang cukup untuk menggeser prioritas ke ICT. Keberhasilan program internet apa pun, termasuk e-government, diakui Madanmohan Rao dalam News Media and New Media tidak sekadar kesiapan modul atau program aplikasi belaka. Harus ada konteks yang mendukung agar internet layak menjadi prioritas.

Rao menyebut konteks 8C, yaitu connectivity, content, community, commerce, capacity, culture, cooperation, dan terakhir capital. Faktor connectivity adalah kelompok parameter yang mencakup penetrasi personal computer, kuantitas online, teledensity dll.

Faktor commerce, misalnya komersialisasi situs juga masih belum memiliki perangkat hukum. "Kalaupun ada hotel yang misalnya ingin pasang iklan, belum bisa kita terima, situs ini kan dibiayai pemerintah, kalau ada uang masuk harus lewat (persetujuan) DPRD, mau dikemanakan nantinya," kata Eka.

Dalam kondisi seperti itu dan kesiapan masyarakat Garut sendiri menerima kehadiran internet yang belum maksimal, Agus mengaku lebih mengincar dampak jangka panjang. "Internet ini jadi seperti makan cabai, digigit langsung terasa pedas, tapi lebih ke dampak strategis informasinya," katanya.

PIKIRAN RAKYAT, April 2007

Saturday, August 11, 2007

Papua, APBKampung Harapan Terakhir

SATU dua langkah keluar dari C-130 Hercules, hawa dingin dan hamparan hijau yang menenangkan menyergap. Keheningan menjadi semacam berkah, setelah 'terperangkap' hampir satu setengah jam dalam panas dan deru mesin pesawat tua dalam perjalanan dari Jayapura ke Wamena ini. 'Seperti mimpi,' kata Uyun Achadiat, teman yang berangkat bersama dalam becak menuju pasar tradisional Wamena.

Di sepanjang jalan, penduduk asli dengan pakaian seadanya sesekali ada juga laki-laki yang masih memakai koteka, atau perempuan tua yang bertelanjang dada berpapasan. Bagi penduduk setempat, hidup di Wamena pasti bukan mimpi yang indah. "Beras di sini 15 sampai 19 ribu satu kilo," kata Janus, sambil mengayuh becaknya.

"Bensin, sepuluh ribuan," timpalnya. Padahal lokasi itu, masih berada dalam jangkauan pandangan mata dari lapangan terbang. Sebagian besar lokasi pemukiman penduduk Papua tersebar dan terisolasi.

"Papua adalah paradoks," kata Gubernur Papua, Barnabas Suebu.

Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) kaya raya dengan sumber alam. Proven deposit bahan tambang emas dan tembaga berjumlah 2,5 miliar ton. Itu hanya di kawasan konsesi Freeport saja. Penelitian menunjukkan setidaknya masih ada 10 titik dengan bahan tambang berlimpah di sepanjang pegunungan tengah Papua.

Potensi lestari kayu komersial mencapai 540 juta meter kubik. Apabila diolah menjadi berbagai produk industri dapat mencapai nilai paling sedikit 500 miliar dolar AS. Kawasan hutan produksi konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar seluas 9 juta hektare. Jika setiap satu juta hektare bisa menghasilkan bahan bakar nabati dalam bentuk minyak bio-diesel sebanyak 130.000 barrel per hari, nilai ekspornya bisa mencapai 5,6 miliar dolar AS per tahun. Belum lagi, hutan sagu seluas 1,3 juta hektare yang memiliki potensi bio-etanol sebanyak 19 juta kilo liter.

Kucuran anggaran yang masuk ke Papua juga tidak sedikit, melalui anggaran otonomi khusus, Papua boleh jadi adalah provinsi yang memiliki anggaran terbesar. Rp 10 triliun diberikan dalam 2002 hingga 2006. Rencananya, Rp 17 triliun lain dikucurkan ke sana . Belum lagi dana APDB yang tahun 2007 saja mencatat angka Rp 5,371 triliun.

Kekayaan dan anggaran yang relatif sangat besar itu belum mampu menolong taraf hidup masyarakat Papua. Hampir 80 persen keluarga yang bermukim di Papua tergolong miskin, bahkan miskin absolut. Persentase rumah tangga miskin yang agak lumayan hanya ada di Kota Jayapura (41,27 persen) dan Merauke (64,82 persen). Sisanya mencapai angka 70, 80 bahkan 99,30 persen di Tolikara, bahkan mencapai 99,78 persen di Yahukimo.

Inilah paradoks itu. Anggaran yang besar -meminjam istilah Barnabas- hanya menari-nari di birokrasi. Baik itu pusat maupun daerah.

Selama ini, masyarakat Papua menganalogikan Papua sebagai sebuah rumah yang menghidupi seluruh 'kampong' Indonesia. Isu separatis bergulir bersama dengan tuntutan peningkatan 'jatah' dari Jakarta . Di daerah sendiri, anggaran yang sebenarnya juga relatif besar tidak terlalu terasa bagi sebagian besar masyarakat. Anggaran terbesar dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang tidak langsung menyentuh rakyat.

Pada anggaran 2006, pembagiannya mirip sebentuk segitiga berdiri dengan sudut lancip di bawah. Anggaran paling atas dan paling gemuk adalah untuk aparatur (70 persen), lapis kedua di tengah segitiga adalah belanja modal (20 persen), dan kampung hanya kebagian 10 persen. Mulai tahun 2007, Pemprov Papua berusaha membalik segitiga itu, dengan sudut lancip di atas. Belanja aparatur menjadi 27 persen, modal/infrastruktur 28 persen dan kampung 45 persen.

APB Kampung

Model pembangunan yang sangat boros dan hanya dinikmati segelintir orang selama ini, digambarkan Barnabas dalam dua model segitiga yang saling berhadapan secara vertikal di satu sudut runcingnya. Segitiga di atas adalah gambaran anggaran dan birokrasi. Segitiga di bawahnya adalah rakyat yang kalaupun segitiga itu beririsan hanya sedikit 'arsiran' anggaran.

Bidang-bidang sayap segitiga atas dan bawah adalah sebuah kenyataan yang bisa langsung dilihat di Papua. Sayap segitiga atas adalah pemborosan anggaran yang entah ke mana hasilnya. Sedangkan sayap segitiga bawah adalah sebagian besar rakyat Papua yang masih hidup di rumah jerami, laki-laki yang memakai koteka dan perempuan yang bertelanjang dada.

Untuk membuat transformasi sempurna, segitiga atas turun dan segitiga bawah harus naik membentuk 'intan' seperti di kartu remi, Barnabas menjanjikan kucuran anggaran langsung ke kampung. "Nanti kampung yang mengelola sendiri anggarannya, mereka yang mengatur mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya. Sehingga di Papua, nanti ada tiga anggaran, APBD Provinsi, APBD Kota/Kabupaten dan APBKampung," katanya.

Konsep ini disebut sebagai pembangunan masyarakat berbasis kampung "Respek" (Rencana Strategis Pembangunan Kampung).

Dalam program ini, kampung akan diberikan block grant rata-rata Rp 100 juta per kampung, khusus dari pemerintah provinsi saja. Dana ini akan diberikan sesudah masyarakat kampung mengidentifikasi kebutuhan, menyusun program kegiatan, dan kelompok pengguna, serta menetapkan sistem pengawasan dan sistem pertanggungjawaban.

Dalam Raker para Bupati/Walikota se-Provinsi Papua dan Papua Barat, menurut Barnabas, seluruh bupati dan walikota juga berkomitmen untuk menyediakan dana block-grant ke kampung masing-masing sebesar kurang lebih Rp 100 juta per kampung. Ditambah alokasi dana pemerintah pusat langsung ke kampung-kampung, diperkirakan total anggaran dana pembangunan tahun anggaran 2007 yang dikelola langsung masyarakat kampung di Papua mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Wah!

Bersama dengan itu, program pendampingan secara intensif, peningkatan kapasitas pemerintahan kampung dan distrik, pengembangan program instansi teknis untuk berpusat di kampung dengan fokus di bidang perbaikan gizi, kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur dilakukan.

Jika program ini berjalan selaras dengan program-program lain, seperti pembangunan infrastruktur terintegrasi, upaya menarik investor berjalan, Barnabas membangun kelas menengah baru. Transformasi berbentuk 'intan' itu akan terdiri dari kelas tinggi dan kelas miskin yang relative kecil (di bagian atas dan bawahnya), sedangkan di bagian tengah, yang merupakan bagian terbesar adalah kelas menengah.

Ciri-ciri kelas menengah ini jumlahnya terbesar dibandingkan kelas atas dan bawah. Mereka, kata Barnabas, independen secara ekonomi karena memiliki pendapatan memadai untuk membiayai berbagai kebutuhan keluarganya. Memiliki rata-rata pendidikan dan pengetahuan yang cukup tinggi untuk digunakan dalam pengambilan keputusan menentukan. Serta, yang paling penting, tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sosial dan politik yang tidak bertanggungjawab, karena secara sosial dan ekonomi kuat. "Isu-isu politik akan terselesaikan secara substansial," tegas Barnabas.

Konsep dan program APBKampung yang ditawarkan ini memberi secercah harapan, mengingat lebih dari 40 tahun, pembangunan baru dirasakan segelintir orang. Namun, diingatkan Menteri Infokom, M. Nuh, pembangunan adalah sebuah gaya dalam ilmu fisika. Besaran gaya ditentukan oleh massa dan percepatan. Nuh menganalogikan massa sebagai potensi, dan Papua memiliki potensi yang luar biasa besar. "Tetapi, gaya adalah sebuah vektor, yang bukan saja memiliki besar, tetapi juga arah. Kalau vektor-vektornya tidak searah atau bahkan berlawanan malah saling meniadakan," katanya.

Dengan APBKampung, setidaknya masyarakat Papua bisa menentukan vektornya sendiri. Dan kesejahteraan bukan lagi mimpi.***

RBC yang Harus Berlari



SEBAGAI tukang pijat tuna netra, di bulan "ramai" Dede Karyana (24) bisa mendapat lebih dari 20 pasien yang menyambanginya di tempat praktiknya, Jln. Holis. Dengan tarif Rp 30.000,00 per kunjungan, pengeluaran rutin bulanannya adalah membayar dua kamar kos yang dikontraknya Rp 450.000,00. Dan kurang dari sebulan lagi, Sunarti (33) istrinya akan segera melahirkan.

"Mungkin kalau ke bidan, saya harus menyiapkan enam ratus ribuan," kata Dede ketika mengantar istrinya memeriksakan kehamilan di Rumah Bersalin Cuma-cuma (RBC) Dompet Dhuafa, Jln. Holis 127 Bandung.

Kunjungan mememeriksakan kehamilan itu merupakan yang pertama bagi Sunarti yang juga tuna netra. "Saya mendengar ada rumah bersalin gratis dari orang, saya coba datang ke sini," katanya.

Pasangan ini kemudian menempuh prosedur yang sama bagi setiap orang. "Untuk menjadi member," kata petugas layanan mustahik, Dian Purnomo S.E., "Mereka harus mengisi formulir dan kemudian wawancara."

Syarat-syaratnya memang cukup berat, antara lain punya penghasilan di bawah upah minimum regional, selain tentu saja hamil. "Kami melakukan survei untuk cross-check hasil wawancara, sebelum diputuskan untuk diterima sebagai member," kata Budimansyah, petugas survei.

Selain menghindari orang yang sekadar coba-coba, seleksi dilakukan agar mereka yang dilayani adalah benar-benar orang yang berhak dan membutuhkan pelayanan yang masih sangat terbatas ini. Kalau saat survei, misalnya, masih terlihat punya motor yang masih bisa dijual, pertimbangannya akan lain.

Sebagian besar pelamar terutama yang coba-coba, kemudian memundurkan diri dengan kesadaran sendiri, setelah mendapat penjelasan mengenai siapa yang benar-benar seharusnya mendapat layanan RBC. "Kalau tidak setelah wawancara, ya ketika disurvei, mereka bilang, 'saya nggak jadi, masih banyak yang membutuhkan'," papar Dian.

Dari 320 member atau anggota RBC, 80 persennya keluarga yang dalam kondisi menganggur, tidak punya pekerjaan tetap atau hanya serabutan. Sisanya, pekerja kecil seperti buruh, satpam perumahan dll. "Yang gajinya paling besar kurang lebih Rp 400 atau Rp 500 ribuan," kata Budimansyah.

Setelah menjadi anggota tetap, mereka dilayani mulai pemeriksaan kesehatan kehamilan dan persalinan. Pelayanan baru "dihentikan" ketika usia bayi 9 bulan, dan setahun pengikutsertaan program KB bagi ibu. "Kita juga berikan edukasi kepada mereka tentang perencaan keluarga," kata Dian.

Ada dua dokter umum, lima bidan, tiga perawat dan enam orang petugas administrasi yang melayani kebutuhan konsultasi dan kelahiran. Rumah bersalin gratis satu-satunya di Jawa Barat ini dilengkapi fasilitas satu ruang konsultasi ANC (antenatalcare), tiga ruang nifas, dua ruang persalinan, satu ruang bayi, dan tiga ruang untuk dokter, administrasi dan pertemuan.

Walaupun gratis, lanjut Dian, para member memiliki kesadaran tinggi untuk berbagi. "Walaupun layanannya boleh sampai seminggu, mereka biasanya pulang sehari setelah persalinan. Mereka ternyata lebih kuat."

**

PENDIRIAN RBC dua tahun lalu, kata Direktur Dompet Dhuafa Bandung, Ima Rachmalia merupakan langkah optimalisasi dana zakat dari program bea bebas bersalin yang diluncurkan tahun 2003 dan optimalisasi dana. Sejumlah dana dikucurkan hanya untuk "menebus" ibu dan bayi yang tidak mampu dari rumah sakit maupun rumah bersalin biasa.

Program itu, ternyata menyedot biaya yang cukup tinggi, mengingat rata-rata biaya tebusan tersebut antara Rp 400.000,00 hingga Rp 1,5 juta untuk per orang. "Karena itu, kita planning untuk membangun RBC, dan di tahun 2004 itu fokus kita memang di kesehatan," lanjut Ima.

Dengan investasi awal sekira Rp 300 juta, sebuah rumah di Jln. Holis ini diubah menjadi rumah bersalin lengkap dengan instalasi medisnya. "Waktu kita cari tempat, kita lihat rumah ini akan dikontrakkan, ya jadinya di sini," kata Ima.

Biaya operasional --ternyata-- memang menjadi lebih optimal, dengan spektrum pelayanan lebih luas. Tidak hanya persalinan, konsultasi rutin bisa dilakukan. Dalam sehari bisa terlayani 15 hingga 25 kunjungan konsultasi kehamilan. Sedangkan persalinan yang ditangani berkisar di angka 20 kelahiran per bulan.

Indeks biaya persalinan dengan fasilitas mandiri tersebut, bisa ditekan hingga Rp 50.000,00 sampai Rp 100.000,00 per orang per hari. "Itu untuk kelahiran normal, tidak ada indikasi apa-apa dan bisa ditangani bidan di sini," kata Dian.

Untuk membiayai program RBC dalam kondisi normal, pengeluaran per bulan RBC hanya berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 12 juta. Namun, pengeluaran membengkak manakala banyak pasien yang harus dirujuk ke rumah sakit. "Di sini kan kelasnya hanya menangani kelahiran normal, kalau ada kelainan, misalnya harus (operasi) cesar, harus dirujuk ke rumah sakit yang punya fasilitas itu," kata Ima.

Untuk operasi cesar tersebut, RBC mengeluarkan Rp 4,5 juta per rujukan. Tentu saja semakin banyak pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. "Bisa melonjak sampai Rp 25 juta hingga Rp 35 juta per bulan. Karena kalau sudah kita bilang gratis, ya kita konsisten, dari datang sampai pulang lagi ya kita tanggung," kata Ima.

Terintegrasi dengan RBC, pelayanan konsultasi kesehatan semakin meluas dengan dimilikinya mobil layanan kesehatan keliling ANC Mobile. Mobil ini setiap pekan berkeliling ke kantung-kantung kemiskinan di Kota Bandung untuk melayani konsultasi ANC, layanan KB, kesehatan dan "promosi" RBC. "Setiap pekan itu, kunjungan mencapai 100 orang," kata Dian.

Program ANC Mobile yang lebih besar dilakukan dalam periode tiga bulanan, dan dilakukan untuk menjangkau daerah pelosok di luar Kota Bandung, antara lain Ciparay, Ciwidey, Cimaung, Padalarang, dll. Diperkuat tenaga tambahan dari relawan yang terdiri dari dokter dan tenaga medis lain, 300 orang bisa terlayani dalam program besar ini.

**

DANA yang tersedot oleh program rumah bersalin gratis ini, menurut Ima, mencapai 30 hingga 40 persen dari total perolehan Dompet Dhuafa. Semua ini menjadi sangat berharga, karena kurang dari dua tahun usianya, sudah terlayani 183 kasus persalinan, 1.249 pemeriksaan kehamilan, 881 tindakan imunisasi, dan 482 pelayanan KB cuma-cuma.

"Ini adalah masterpiece-nya Dompet Dhuafa di bidang kesehatan," kata Ima seraya memaparkan beberapa program di bidang pemberdayaan ekonomi dan pendidikan. "Sebenarnya, di tahun 2006 kita ingin fokus di pemberdayaan ekonomi. Orang tidak bisa ke rumah sakit kan karena masalah ekonomi," ujarnya.

Di bidang ekonomi, program Bina Usaha Mandiri digelar untuk memberdayakan komunitas dan individu. Beberapa yang sudah dilaksanakan adalah produksi serbet di Cikancung, bilik di Banjaran, layang-layang di Tanjungsari, kampung ternak dll.

Namun, tanpa terduga, pihaknya mendapat tanah wakaf seluas 7.600 meter persegi dari seorang ulama setempat yang terkesan dengan kehadiran RBC di dekat pesantren yang dikelolanya. Rencananya akan dibangun rumah bersalin cuma-cuma dua lantai, yang rancangan anggaran biayanya mencapai lebih dari Rp 2 miliar.

Di tengah keterbatasan yang dimiliki, sejak awal pertengahan 2005, baru 30 persen bangunan fisik yang terlihat. Upaya menggalang dana dilakukan lebih intensif, termasuk program wakaf bahan bangunan. "Kita harus maraton dan berlari cepat untuk mewujudkannya," ujar Ima.

Tentu saja, karena program untuk rakyat yang tidak mampu ini didanai dari sumbangan berupa zakat atau wakaf, kecepatan larinya tergantung kesadaran masyarakat. "Kami optimis, tingkat kesadaran masyarakat cukup tinggi, apalagi dana zakat itu abadi, kalaupun mustahik tidak ada, dana zakat kan tetap harus dibayar," kata Ima.

Setidaknya pekerjaan membuat RBC bisa berlari didukung oleh harapan dan doa orang-orang seperti Dede. "Mudah-mudahan yang seperti ini lebih banyak, banyak orang lain yang seperti saya yang terlayani," katanya.

Dede kemudian menegakkan duduknya, dan wajahnya tampak serius, "Bukan karena saya ada di sini (RBC), ini setulus hati." ***

Thursday, May 10, 2007

Belanda di Atas Tumpukan Jerami


ANGIN dingin laut utara berembus kencang memutar sebagian dari 19 kincir angin di Kinderdijk, kawasan Alblasserwaard yang bersebelahan dengan Rotterdam. Angin juga menggoyang sebentuk kambing yang berdiri di atas tumpukan jerami di tengah kanal. Sang kambing lari ke atas tumpukan makanannya untuk menghindari air yang terus naik.
Karya patung bernama "Velligeit" adalah kreasi seniman Belanda, Luc Souren. Luc mengibaratkan kambing itu adalah masyarakatnya, dan tumpukan jerami adalah negerinya. Sementara ini ia cukup velligeit atau aman dari serangan air, dan ancaman tenggelam. Ia memiliki bekal yang cukup banyak untuk terhindar dari kelaparan.
Luc merupakan salah satu seniman dalam festival internasional "Seni Di Bawah Permukaan Laut" yang digelar di Kinderdijk. Karyanya masih berdiri ketika April lalu, saya mengunjungi Kinderdijk. Kinderdijk sendiri masuk dalam perlindungan badan dunia UNESCO sebagai "World Heritage" sebagai simbol perjuangan manusia melawan air.
Di Kinderdijk, kita bisa merasakan "ketegangan" perbedaan ketinggian air di sungai dan polder (daratan di bawah permukaan laut yang dipagari bendungan). Air membisikkan ancaman tak berkesudahan, dan manusia menjawabnya dengan kincir angin, dykes (bendungan), kanal, dan dam. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi penyelenggara dan para seniman dalam festival itu.
Belanda yang kecil dan rata, berada dalam cengkeraman jari-jari laut. Ketinggian air menjadi masalah tak berkesudahan. Awal pertarungan manusia dan air ini cukup jelas. Air yang naik dalam tanah, sungai, dan ceruk berhubungan langsung dengan air laut. Untuk menghindari naiknya air, petani kaya membuat dykes di sekeliling tanahnya. Tentu saja, para tetangga kebagian limpahan air yang terbendung. Balas dendam terjadi, petani lain menghancurkan benteng tanah yang merusak pertaniannya. Air mengalir deras, dan petani kaya kebagian juga kerusakan itu.
Komunitas pertanian berubah menjadi ajang perkelahian dan pertarungan sesama.Setelah puas berkelahi, para petani sepakat untuk membentuk institusi yang dibayar bersama. Institusi ini diberi mandat untuk membangun dykes bagi seluruh komunitas. Dykes melingkar yang menjaga air tidak masuk ke lahan pertanian mereka. Sebuah solusi yang baik, tapi belum cukup. Setidaknya Belanda mengalami 30 kali banjir akibat pasang laut utara.
Kenaikan air menjadi subjek penelitian dan penemuan. Hasilnya, kincir angin diperkenalkan untuk memompa air dan membentuk polder. Pada tahun1750 sebanyak 165 kincir ditempatkan di seluruh area Alblasserwaard. Kini tinggal 19 yang tersisa di Kinderdijk. Sebagian besar wilayah Belanda didapat dari reklamasi genangan air, dan berada di bawah permukaan air. Oleh karena itu, drainase tidak bisa terjadi secara alamiah.
Di Alblasserwaard, drainase menggunakan sistem tiga level. Level pertama dan terendah adalah level polder. Alblasserwaard dibagi dalam beberapa bagian. Setiap polder memiliki kincir angin tersendiri untuk memindahkan air kesatu tingkat yang lebih tinggi (boezem). Level boezem ini merupakan level kedua. Air di boezem dikumpulkan di Kinderdijk, untuk dipompa ke tingkat lebih tinggi lagi oleh 16 kincir angin ke reservoir.
Reservoir inilah yang merupakan level ketiga dan tertinggi. Air tinggal di reservoir hingga ketinggiannya mencapai ketinggian rata-rata air di kanal. Setelah mencapai ketinggian tertentu, air dialirkan ke kanal lewat Rotterdam dan menuju ke laut.Secara terus-menerus angin memutar kincir. Air terpompa membentuk polder tempat manusia hidup. Lanskap yang terbentuk dari polder, dykes, kanal dan kincir adalah hasil perputaran energi. Manusia menjadi dirigennya. Hubungan besar inilah yang diekspresikan kincir angin di area Kinderdijk.
World Heritage Committee menilai Kinderdijk adalah sebuah kesaksian luar biasa dari orisinalitas dan kerja keras berabad-abad manusia melindungi daerahnya dari ancaman alam. Dan kini, kincir angin difungsikan sebagai kesaksian itu.Polder dan dataran yang ada membentuk dataran yang rata.
Pandangan lepas bisa menangkap garis-garis pohon di cakrawala. Kita bisa melihat menara gereja di sebuah desa yang berjarak belasan kilometer. Dan, tentu saja, kincir angin, baik itu tradisional atau kincir modern pembangkit listrik.
**
DI Zeeland, yang sebagian besar areanya juga merupakan polder, perjuangan melawan ketinggian air tak kalah hebatnya. Air laut yang sempat merendam rumah-rumah dan lahan pertanian masih terekam di beberapa rumah. Sebagian memasang tanda dari batu khusus yang menempel di dinding, menunjukkan ketinggian air dari tahun ke tahun. Sebagian rumah lain, masih mengeluarkan garam dari bata-batanya hingga kini.
Di Westkappelle, dykes (bendungan) lebih tinggi dari atap-atap rumah. Berdiri di puncak dykes itu, kita bisa membandingkan langsung laut yang sedikit lebih tinggi dibanding deretan rumah di balik dykes.
"Sekarang ini kita berada di bawah permukaan laut," kata Jan Vrijen sambil mengemudi mobilnya berkeliling area Walcheren dan Domburg. "Tapi jangan khawatir, dykes yang ada cukup kokoh, sudah terbukti bertahun-tahun kok," ujarnya.

Zeeland melambangkan dirinya dalam moto "Voltus et Emergus" (berjuang dan muncul). Moto ini mendampingi lambang provinsi berupa gambar seekor singa berdiri dengan sebagian kaki belakangnya masih berada dalam garis-garis yang melambangkan air. Belanda meneriakkan kemenangannya atas perjuangan melawan air ketika mereka berhasil memotong jari-jari laut dengan dam dan bendung penghalang badai. Pekerjaan besar dan prestisius yang dikenal dengan Delta Project untuk mengontrol kenaikan air dengan sistem buka tutup. Sebanyak 13 solid dam, dan dam terbuka yang bisa dibuka tutup untuk mengontrol kenaikan air dibangun sejak tahun 1958 hingga 1997. Tugas Delta Project ini tak sekadar memotong jari-jari laut, tetapi juga menjaga ekosistem di dalamnya.
Yang paling prestisius dan membanggakan adalah Oosterscheldering, sebuah projek menutup ancaman pasang laut utara di Esterschelde dan keinginan menjaga ekosistem. Dam tertutup yang membentang dari Schouwen hingga Noord Beveland akan membuat air membusuk dan makhluk hidup di dalamnya sekarat. Perubahan dari dam mati menjadi storm surge barrier ini menjadi lebih pelik. Air segar dari laut harus tetap bisa masuk dan mengganti air di dalam "danau". Kota-kota, pertanian terlindung. Burung camar, ikan, biota alami lainnya juga selamat. Industri perikanan, pertanian di dalamnya terjaga. Dykes, kincir, dam, dataran yang hijau rata terselang saluran air, kanal, jari-jari laut dan gurat warna-warni tulip membentuk lanskap khas Belanda yang terpahat dari perjuangan manusia melawan air.
**
BELANDA menikmati masa-masa velligeit-nya dan merasa aman. Kini perasaan aman inilah yang digugat oleh Luc. Karena sang kambing memiliki dilema yang sulit. Jika ia memakan jerami hingga habis ia akan mati tenggelam, sedangkan jika ia tidak makan, ia akan mati kelaparan. Jika sang kambing arogan dan bodoh, kata Luc, kehancuran segera tiba. "Saat ini kami memang kaya," kata Cees Dornheim, salah seorang penyelenggara "Art Below Sea Level".
Belanda saat ini memiliki tingkat ekonomi yang makmur dan terbuka. Kesejahteraan masyarakat terjamin. Pendapatan (GDP) perkapita mencapai 25.500 dolar AS. Seluruh warga Belanda mendapat jaminan sosial. Warga pensiunan dibayar negara, pengangguran mendapat "gaji", bahkan penjara di Breda yang sempat saya kunjungi memiliki "kemewahan" yang mengagumkan, bahkan bagi warga Belanda sendiri. Namun, kekhawatiran muncul bersama dengan penurunan ekonomi selama 2001 hingga 2004 lalu.
Walaupun hal ini sebenarnya bagian dari penurunan ekonomi global. Belanda masih menempati peringkat atas dalam menarik investor. Efisiensi dan mekanisasi menjadi andalan. Industri pertanian hanya mempekerjakan 4 persen dari seluruh tenaga kerja, namun berhasil menyediakan surplus besar bagi kebutuhan industri hulu dan ekspor. "Jangan terlalu silau, kondisi yang ada di sini belum tentu cocok bagi Indonesia. Kami sendiri memiliki masalah yang cukup besar," kata Jan Gaillard, penasihat Kamar Dagang Belanda.
Jan mencontohkan perubahan besar yang terjadi di Tilburg dan Waalwijk. Industri sepatu dan tekstil yang berabad-abad menjadi ciri khas kedua kota itu mati beberapa tahun lalu, dan kini hanya bisa dinikmati di museum. Jan menyebut ekonomi biaya tinggi yang terjadi di negerinya akan mengurangi secara drastis kemampuan bersaing.
Harga bensin (sekira 1,3-1,4 euro per liter). Tuntutan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi dan masuknya negara-negara baru menjadi anggota Uni Eropa membuatnya miris . Kini, Belanda mulai mencari berbagai alternatif dan jawaban untuk mempertahankan kemakmurannya. Sebuah biro advertising di Loon op Zand, Waalwijk memasang moto "It's not only shoes anymore" yang melambangkan semangat pencarian alternatif.
Efisiensi dan mekanisasi menjadi andalan industri. Sekolah dan kampus mencanangkan diri sebagai sekolah internasional.Sang kambing tidak boleh mengambil dua pilihan jawaban dari dilema tersebut. Jan Guillard menggeleng kepala ketika ditanya solusi teknis yang dipikirkannya. "Saya belum tahu," kata pengusaha ekspor-impor tekstil yang rutin mengunjungi Asia.
Cees memberi jawaban yang agak filosofis. "Solusi lain yang tak nampak harus dicari. Mungkin sang kambing harus mulai belajar berenang," kata Cees.Agar tak tenggelam dalam dilema, "sang kambing" harus berpikir untuk menemukan yang tak nampak dan membuatnya tampak. Memilih solusi yang tampak, menghabiskan stok kekayaan alam begitu saja akan membuat siapa pun tenggelam. Di sini, kita sudah punya pengalaman untuk soal itu.
***
Dimuat di Pikiran Rakyat
21 Mei 2005

Illiterasi

The illiterate of 21st century will not be thosewho cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.
Alvin Toffler