Thursday, August 23, 2007

"Milih Rabi, Mindah Rasa"



MAK Yaya--yang sudah lupa usianya sendiri--asyik mengumpulkan batu-batu yang berserakan di pinggiran galian. Para penggali yang juga bekerja keras mengangkat pasir dan batu dari dalam tanah tak terlalu peduli dengan keberadaannya.

Setelah dapat mengumpulkan sekarung batu, ia memikulnya dengan bantuan sinjang. Ia berjalan ratusan meter, jalan menanjak menuju rumah. Tangan kanannya mencencang seember penuh batu lainnya.

Batu-batu itu sudah ditunggu oleh Emed, suaminya, yang ingat betul usianya sudah 78 tahun. "Nini mah, tikapungkur keneh ngempelkan batu teh," kata Mak Yaya.

Kampung Panarosan yang merupakan bagian wilayah Desa Cimangkok, Kecamatan Sukalarang, Sukabumi adalah salahsatu daerah penghasil pasir dan batu. Pengendara dari Cianjur ke Sukabumi pasti turut merasai produksi pasir itu saat harus menyalip atau berpapasan dengan truk-truk pasir di wilayah itu.

Bagi Mak Yaya tidak ada pekerjaan lain baginya. Di lain, waktu ia mengumpulkan sisa-sisa pasir yang jatuh dari truk di pinggir jalan. Sedikit demi sedikit dia kumpulkan.

Satu dolak (mobil pick-up kecil) dihargai Rp 50.000,00. Butuh waktu kurang lebih sebulan untuk itu. "Ah, da tos nini-nini kieu, sakengingna wae (Sudah nenek-nenek begini, sedapatnya saja-red.)," ujarnya.

Berbeda dengan pasir yang bisa langsung dijual, batu perlu dipecah menjadi lebih kecil. Yang "diangkat" oleh mobil hanyalah batu split. Inilah tugas Emed. Sejak pagi, Emed sudah duduk di bawah pohon di depan rumahnya, memecah batu-batu sebesar kepala dengan palunya hingga sore tiba.

Harga batu-batu yang sudah dipecah itu juga tidak berbeda, sekira Rp 50.000 per dolak. "Upami waktos na mah tara tangtos, tiasa langkung ti satengah bulan (Waktunya tidak pasti, bisa lebih dari setengah bulan)," kata Emed.

Batu-batu yang dikumpulkan istrinya, satu per satu dipecah dan dilempar ke tumpukan batu di dekatnya. "Nu ieu mah rada mirah, da kirang sae," lanjutnya.

Di pekarangan samping rumahnya itu, terkumpul setumpuk batu yang mungkin baru bisa mengisi seperempat dolak. Aki Emed mengaku sudah berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya tinggal di Panarosan. "Hirup mah milih rabi mindah rasa, sugan di dieu aya kabungah," kata Emed.

Dari pekerjaannya itu, Emed telah membesarkan tujuh anak, dan kini hidup bertiga dengan salah seorang cucunya. "Anu istri mah tos dicarandak ku carogena (Yang perempuan dibawa oleh suaminya-red.)."

Rezeki yang didapatnya walaupun hanya dihargai sedikit lebih dari Rp 50.000,00 untuk hidup sebulan disyukurinya. "Milikna sakitu, dan tanagana ge sakieu, asal cekap dahar jeung nganggo," katanya.

Mak Yaya sempat masuk ke dalam rumah, keluar dengan satu teko plastik dan tiga gelas kosong. Ia mengisinya sambil menawarkan satu sisir cau muli. Tehnya benar-benar terasa khas dan hangat.

Tanpa disadari, bekal yang dibawa Mak Yaya terjatuh ketika menyuguhkan pisang. Segenggam nasi bercampur mi instan dalam kemasan plastik mi instan.***


No comments: