Saturday, August 11, 2007

Papua, APBKampung Harapan Terakhir

SATU dua langkah keluar dari C-130 Hercules, hawa dingin dan hamparan hijau yang menenangkan menyergap. Keheningan menjadi semacam berkah, setelah 'terperangkap' hampir satu setengah jam dalam panas dan deru mesin pesawat tua dalam perjalanan dari Jayapura ke Wamena ini. 'Seperti mimpi,' kata Uyun Achadiat, teman yang berangkat bersama dalam becak menuju pasar tradisional Wamena.

Di sepanjang jalan, penduduk asli dengan pakaian seadanya sesekali ada juga laki-laki yang masih memakai koteka, atau perempuan tua yang bertelanjang dada berpapasan. Bagi penduduk setempat, hidup di Wamena pasti bukan mimpi yang indah. "Beras di sini 15 sampai 19 ribu satu kilo," kata Janus, sambil mengayuh becaknya.

"Bensin, sepuluh ribuan," timpalnya. Padahal lokasi itu, masih berada dalam jangkauan pandangan mata dari lapangan terbang. Sebagian besar lokasi pemukiman penduduk Papua tersebar dan terisolasi.

"Papua adalah paradoks," kata Gubernur Papua, Barnabas Suebu.

Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) kaya raya dengan sumber alam. Proven deposit bahan tambang emas dan tembaga berjumlah 2,5 miliar ton. Itu hanya di kawasan konsesi Freeport saja. Penelitian menunjukkan setidaknya masih ada 10 titik dengan bahan tambang berlimpah di sepanjang pegunungan tengah Papua.

Potensi lestari kayu komersial mencapai 540 juta meter kubik. Apabila diolah menjadi berbagai produk industri dapat mencapai nilai paling sedikit 500 miliar dolar AS. Kawasan hutan produksi konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar seluas 9 juta hektare. Jika setiap satu juta hektare bisa menghasilkan bahan bakar nabati dalam bentuk minyak bio-diesel sebanyak 130.000 barrel per hari, nilai ekspornya bisa mencapai 5,6 miliar dolar AS per tahun. Belum lagi, hutan sagu seluas 1,3 juta hektare yang memiliki potensi bio-etanol sebanyak 19 juta kilo liter.

Kucuran anggaran yang masuk ke Papua juga tidak sedikit, melalui anggaran otonomi khusus, Papua boleh jadi adalah provinsi yang memiliki anggaran terbesar. Rp 10 triliun diberikan dalam 2002 hingga 2006. Rencananya, Rp 17 triliun lain dikucurkan ke sana . Belum lagi dana APDB yang tahun 2007 saja mencatat angka Rp 5,371 triliun.

Kekayaan dan anggaran yang relatif sangat besar itu belum mampu menolong taraf hidup masyarakat Papua. Hampir 80 persen keluarga yang bermukim di Papua tergolong miskin, bahkan miskin absolut. Persentase rumah tangga miskin yang agak lumayan hanya ada di Kota Jayapura (41,27 persen) dan Merauke (64,82 persen). Sisanya mencapai angka 70, 80 bahkan 99,30 persen di Tolikara, bahkan mencapai 99,78 persen di Yahukimo.

Inilah paradoks itu. Anggaran yang besar -meminjam istilah Barnabas- hanya menari-nari di birokrasi. Baik itu pusat maupun daerah.

Selama ini, masyarakat Papua menganalogikan Papua sebagai sebuah rumah yang menghidupi seluruh 'kampong' Indonesia. Isu separatis bergulir bersama dengan tuntutan peningkatan 'jatah' dari Jakarta . Di daerah sendiri, anggaran yang sebenarnya juga relatif besar tidak terlalu terasa bagi sebagian besar masyarakat. Anggaran terbesar dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang tidak langsung menyentuh rakyat.

Pada anggaran 2006, pembagiannya mirip sebentuk segitiga berdiri dengan sudut lancip di bawah. Anggaran paling atas dan paling gemuk adalah untuk aparatur (70 persen), lapis kedua di tengah segitiga adalah belanja modal (20 persen), dan kampung hanya kebagian 10 persen. Mulai tahun 2007, Pemprov Papua berusaha membalik segitiga itu, dengan sudut lancip di atas. Belanja aparatur menjadi 27 persen, modal/infrastruktur 28 persen dan kampung 45 persen.

APB Kampung

Model pembangunan yang sangat boros dan hanya dinikmati segelintir orang selama ini, digambarkan Barnabas dalam dua model segitiga yang saling berhadapan secara vertikal di satu sudut runcingnya. Segitiga di atas adalah gambaran anggaran dan birokrasi. Segitiga di bawahnya adalah rakyat yang kalaupun segitiga itu beririsan hanya sedikit 'arsiran' anggaran.

Bidang-bidang sayap segitiga atas dan bawah adalah sebuah kenyataan yang bisa langsung dilihat di Papua. Sayap segitiga atas adalah pemborosan anggaran yang entah ke mana hasilnya. Sedangkan sayap segitiga bawah adalah sebagian besar rakyat Papua yang masih hidup di rumah jerami, laki-laki yang memakai koteka dan perempuan yang bertelanjang dada.

Untuk membuat transformasi sempurna, segitiga atas turun dan segitiga bawah harus naik membentuk 'intan' seperti di kartu remi, Barnabas menjanjikan kucuran anggaran langsung ke kampung. "Nanti kampung yang mengelola sendiri anggarannya, mereka yang mengatur mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya. Sehingga di Papua, nanti ada tiga anggaran, APBD Provinsi, APBD Kota/Kabupaten dan APBKampung," katanya.

Konsep ini disebut sebagai pembangunan masyarakat berbasis kampung "Respek" (Rencana Strategis Pembangunan Kampung).

Dalam program ini, kampung akan diberikan block grant rata-rata Rp 100 juta per kampung, khusus dari pemerintah provinsi saja. Dana ini akan diberikan sesudah masyarakat kampung mengidentifikasi kebutuhan, menyusun program kegiatan, dan kelompok pengguna, serta menetapkan sistem pengawasan dan sistem pertanggungjawaban.

Dalam Raker para Bupati/Walikota se-Provinsi Papua dan Papua Barat, menurut Barnabas, seluruh bupati dan walikota juga berkomitmen untuk menyediakan dana block-grant ke kampung masing-masing sebesar kurang lebih Rp 100 juta per kampung. Ditambah alokasi dana pemerintah pusat langsung ke kampung-kampung, diperkirakan total anggaran dana pembangunan tahun anggaran 2007 yang dikelola langsung masyarakat kampung di Papua mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Wah!

Bersama dengan itu, program pendampingan secara intensif, peningkatan kapasitas pemerintahan kampung dan distrik, pengembangan program instansi teknis untuk berpusat di kampung dengan fokus di bidang perbaikan gizi, kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur dilakukan.

Jika program ini berjalan selaras dengan program-program lain, seperti pembangunan infrastruktur terintegrasi, upaya menarik investor berjalan, Barnabas membangun kelas menengah baru. Transformasi berbentuk 'intan' itu akan terdiri dari kelas tinggi dan kelas miskin yang relative kecil (di bagian atas dan bawahnya), sedangkan di bagian tengah, yang merupakan bagian terbesar adalah kelas menengah.

Ciri-ciri kelas menengah ini jumlahnya terbesar dibandingkan kelas atas dan bawah. Mereka, kata Barnabas, independen secara ekonomi karena memiliki pendapatan memadai untuk membiayai berbagai kebutuhan keluarganya. Memiliki rata-rata pendidikan dan pengetahuan yang cukup tinggi untuk digunakan dalam pengambilan keputusan menentukan. Serta, yang paling penting, tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sosial dan politik yang tidak bertanggungjawab, karena secara sosial dan ekonomi kuat. "Isu-isu politik akan terselesaikan secara substansial," tegas Barnabas.

Konsep dan program APBKampung yang ditawarkan ini memberi secercah harapan, mengingat lebih dari 40 tahun, pembangunan baru dirasakan segelintir orang. Namun, diingatkan Menteri Infokom, M. Nuh, pembangunan adalah sebuah gaya dalam ilmu fisika. Besaran gaya ditentukan oleh massa dan percepatan. Nuh menganalogikan massa sebagai potensi, dan Papua memiliki potensi yang luar biasa besar. "Tetapi, gaya adalah sebuah vektor, yang bukan saja memiliki besar, tetapi juga arah. Kalau vektor-vektornya tidak searah atau bahkan berlawanan malah saling meniadakan," katanya.

Dengan APBKampung, setidaknya masyarakat Papua bisa menentukan vektornya sendiri. Dan kesejahteraan bukan lagi mimpi.***