Saturday, March 22, 2008

Gajah yang Makin Terjepit*

KONFLIK manusia dengan gajah saat ini tengah menghangat, seiring dengan pembukaan lahan di beberapa daerah. Gajah adalah satwa yang menyukai aktivitas di kawasan hutan sekunder dataran rendah. Di kawasan ini, mereka dengan mudah menemukan jenis makanan seperti akar, cabang muda, rumput, termasuk umbi-umbian dan buah. Mereka kesulitan mencari makan di wilayah dengan jurang dan sungai dengan tebing yang curam atau di kawasan hutan primer.

Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memiliki luas satu juta hektare tidak semuanya cocok untuk kehidupan gajah. Wilayah hidup di TNGL tidak lebih dari 15 persen. Salah satunya adalah di kawasan Sikundur. Gajah-gajah itu tinggal di areal seluas 40 ribuan hektare. Ada pula yang berada di di luar area TNGL seperti di kawasan Ulu Masin, di Aceh Barat, Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Jaya.Tapi habitat itu, kata Wahdi Azmi dari Flora dan Fauna Indonesia (FFI) kian terganggu dengan aktivitas perambahan dan pembukaan areal perkebunan sawit.

Sementara ini, Indonesia sudah punya 3 juta hektare lahan dan sebagian besar di Sumatra sekira 1, 5 juta hektare lahan sawit. Angka itu akan terus bertambah seiring keinginan pemerintah untuk menjadi produsen sawit terbesar di dunia mengalahkan Malaysia. Pemerintah akan mentargetkan 30 juta hektare lahan perkebunan sawit.

Dan untuk mencapai target itu, ratusan ribu hektare lahan hutan dikonversi setiap tahun menjadi kebun sawit. Sebagian besarnya adalah habitat gajah yang tersisa yang tidak banyak itu.Tersudutnya gajah oleh aktivitas manusia melahirkan konflik. Maksud hati ingin mencari makan, malah manusia merasa areal perkebunan dan aktivitasnya kena amuk gajah liar. Alhasil, ada gajah yang disetrum, dikuliti, yang jantan diambil gadingnya, atau bahkan diracun.

Hal itu terjadi di hutan batas antara Sumut dengan Riau. Ada 6 ekor gajah yang mati diracun. Pihak terkait baru menangkap pelaku yang meracun 12 ekor. Sebelumnya ada yang 17 ekor yang diracun di Barubun. Dan tidak terungkap.Gajah pun tidak tinggal diam. Mereka pun balik melawan kepada manusia. Wahdi mengatakan bahwa hal itu karena sejarahnya gajah-gajah itu mengalami ritual penangkapan dikejar-kejar, diteriaki, ditembak bius, dan ditarik dengan segala macam benda.

Sisa populasi yang ada mulai belajar dan mengenali manusia sebagai spesies yang berbahaya. Mereka menjadi agresif.Kepunahan pun makin kian nyata, ketika manusia pun mulai melihat keuntungan materi dari perburuan gajah. Gading gajah jantan merupakan produk yang menghasilkan uang jutaan rupiah. Wahdi mengatakan di beberapa tempat, jantan sedikit sekali. Dalam satu kelompok yang terdiri dari 15 ekor gajah, jantannya tidak lebih dari tiga ekor. Dan, Gajah betina membutuhkan waktu selama 18-22 bulan untuk bunting dan hanya melahirkan setiap 3-4 tahun sekali. "Walaupun habitat gajah banyak kalau semuanya betina ya akan menjadi kelompok yang punah juga," katanya.

Tahun 2002 silam, FFI bekerja sama dengan TNGL, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Aceh dan Bengkulu mendirikan sebuah unit ”pasukan gajah” terlatih Conservation Response Unit (CRU). Unit ini tersebar ke dalam beberapa wilayah di antaranya di Krueng Saree, Aceh, dan Seblat, Bengkulu. Di Sumatra Utara ada dua tempat, salah satunya di Tangkahan.

Selain mempunyai tugas "berpatroli" dalam hutan untuk mengatasi pembalakan liar, CRU juga bertugas mengatasi masalah konflik manusia dan gajah. Kegiatan CRU biasanya untuk menggiring kembali gajah itu masuk ke kawasan hutan. Melihat topografi hutan yang tersisa tinggal wilayah pegunungan yang terjal sehingga sulit bagi gajah untuk melakukan migrasi singkat selain melewati areal manusia.

Tapi apakah manusia mau mengalah kepada gajah?

*ditulis bersama Agus Rakasiwi dan dimuat di PR, 8 Mei 2006

No comments: