Saturday, March 22, 2008

Taman Nasional Gunung Leuser: Rakyat Menjaga, Aparat Menjarah*


SEPERTI desa kecil Galia yang tak pernah tunduk pada imperium Roma dalam komik Asterix, Tangkahan berhasil menghadapi belitan ”illegal logging” atau pembalakan liar yang menggerogoti ribuan hektare Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Penduduk Tangkahan, tak perlu ramuan ajaib untuk mengubur gergaji dan kampaknya. Mereka punya alasan sederhana, masa depan lebih baik bagi anak-anaknya.

Tinggal di pingiran hutan, berbagai jenis kayu di depan mata adalah harta karun. Sehokor Sembiring, Njuang Pinem dan seperti juga penduduk lainnya tinggal membawa gergaji dan kampak untuk menebang pohon, menghanyutkan gelondongan kayu di Sungai Batang Serangan. "Saya bisa dapat lima puluh ribu sehari," kata Okor--biasa ia disapa--mengenang masa lalu.***

*ditulis bersama Agus Rakasiwi dan dimuat di PR, 8 Mei 2006

Begitu pula dengan Njugang Pinem. Sejak awal tahun 1990-an, bersama lima orang rekannya, ia menebang setiap jenis pohon meranti. Dalam satu bulan ia mengaku mendapatkan lima ton kayu yang siap dikirim ke cukong di Tanjung Pura. Menurut Njuhang, aktivitas perambahannya itu memakan biaya cukup besar untuk mengatasi mata aparat keamanan. Tidak kurang dari Rp 25 ribu dikeluarkan untuk setiap petugas yang ditemuinya.

Barulah pada tahun 2001, Njuhang menghentikan kegiatan ini. Ia mengaku kasihan dengan warga desa lain di bawah Desa Sungai Serdang, Desa Namo Sialang, Desa Sungai Musam, Desa Bamban, dan Desa Batang Serangan, yang tertimpa bencana akibat pembalakan itu. "Kami sadar merusak hutan akan mengakibatkan bencana. Lagi pula hasilnya hanya untuk memperkaya pengusaha kayu," kata Njuang.

Okor lebih sial lagi, ia harus mendekam di penjara selama dua tahun. Tabungannya ludes selama proses itu, dan untuk kembali membalak ia ketar-ketir. "Saya memang punya sebidang tanah, tetapi yang saya pikirkan tiga anak saya. Kalau saya mati, mereka membagi tanah itu menjadi tiga. Mereka akan lebih miskin daripada saya," katanya.

Okor dan Njuhang kemudian berjuang mengubah Tangkahan agar tak tergantung lagi pada pembalakan liar. Dengan bantuan TNGL dan LSM Indecon, mereka membangun peluang peng hidupan lain melalui ekowisata.

Melalui perjuangan keras bertahun-tahun, akhirnya digelar kongres desa tahun 2000-an. Kongres ini menghasilkan peraturan desa yang melarang setiap aktivitas eksploitasi hutan dan satwa secara ilegal, sekaligus mendirikan lembaga yang mengatur pengelolaan ekowisata Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang diketuai Njuang. "Saya sempat dimusuhi. Dulu, orang tanya, kau digaji berapa apa dari taman nasional," kata Okor.

Tangkahan hijau kembali.

Selain mengandalkan pendapatan sebagai pengolah kebun sawit dan karet, mereka mendapat penghasilan dari mengelola ekowisata Tangkahan. Tentu saja, sebagai sebuah ekowisata, konservasi hutan menjadi faktor penting.

Sebagai daerah ekowisata, Tangkahan cukup menarik, karena merupakan kombinasi dari vegetasi hutan dan topografi yang berbukit. Sungai Batang Serangan dan Buluh yang jernih membelah hutan dan menawarkan panorama indah. Terdapat pula 11 air terjun, beberapa sumber air panas dan gua kelelawar.

Turis pun berdatangan, ada fasilitas trecking di hutan, tubing (menyusuri air deras dengan menggunakan ban dalam truk), pengamatan burung, orang utan dan kegiatan alam bebas lainnya. Berpayung kekuatan peraturan desa, pengelolaan ekowisata dilakukan sepenuhnya oleh penduduk desa. Para pemuda menjadi pemandu yang tergabung dalam "Community Tour Operator". "Sekarang, semua orang sudah menikmati hasilnya," kata Okor.

Pihak TNGL mempercayakan 1.800 ha areanya dijaga penduduk Tangkahan. "Di seluruh TNGL, model begini baru di Tangkahan. Isu-isu konservasi sudah tidak ada lagi di sini," kata Kepala TNGL, Wiratno.

**

Walaupun "hanya" 1.800 hektar, sekecil apapun upaya konservasi di TNGL memiliki arti yang sangat penting. TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan yang membentang dari Aceh hingga Sumatera Utara.Tempat yang telah menjadi world heritage ini juga dihuni oleh berbagai keanekaragaman spesies flora dan fauna, yang banyak di antaranya terancam punah. Terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia (Raflesia atjehensis), serta Rhizanthes zippelnii yang berdiameter 1,5 meter. Satwa langka dan dilindungi antara lain mawas/orangutan, siamang, gajah Sumatera, badak Sumatera, harimau Sumatera, kambing hutan, rangkong, rusa sambar, dan kucing hutan. TNGL juga dipenuhi kayu-kayu seperti meranti, keruing dan berbagai jenis kayu hutan yang mendominasi kawasan hutan dataran rendah.

**

Jika bagi penduduk Tangkahan, pembalakan adalah masa lalu, gelombang besar pembalakan justru semakin menjadi-jadi di wilayah lain(lihat peta gradasi). Pelaku pembalak sudah masuk hingga ratusan kilometer ke dalam hutan. "Kalau di Jawa perlu 100 tahun untuk menghabiskan hutan, di Sumatera hanya perlu 30 tahun," kata Wiratno.

Wiratno sempat menampilkan beberapa foto pejabat yang tampak beramah-tamah dalam sebuah acara. "Ini bupati, yang ini ketua DPRD, dan yang berperut besar ini pengusaha terkenal," katanya. "Mereka ini semua pelaku illegal logging."

Keterlibatan aparat juga dicontohkan Wiratno dalam beberapa kasus dan temuan (lihat tabel tangkapan). "Dengan membawa GPS, saya membuat peta lokasi pembalakan, lengkap dengan pelaku, saya sudah serahkan ke pusat, sampai sekarang belum ada tindak lanjut," ujarnya.

Akibat pembalakan liar ini, kawasan TNGL yang meliputi luas 792.675 hektar terancam rusak. Walhi mencatat setidaknya lebih dari 6.300 hektar hutan sudah dirambah. Sejumlah daerah aliran sungai (DAS) besar yang hulunya berada di Kawasan Ekosistem Leuser makin kritis. Sehingga di musim hujan sering menimbulkan kebanjiran dan kekeringan di musim kemarau. Masyarakat di Aceh dan Sumut juga sangat bergantung kepada jasa "hidrologis" Leuser.

Apabila hutan Leuser rusak, menurut sebuah penelitian, nilai suplai air untuk kebutuhan hidup yang akan hilang mencapai Rp 16 triliun. Namun, berhadapan dengan pembalakan liar seperti menghadapi gurita raksasa yang tangannya membelit di mana-mana. Pejabat dan aparat jauh lebih sulit untuk diurus, antara lain karena nilai uang yang mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang mengalir. "Satu saat, (mobil) Innova baru seorang pejabat itu terguling saat masuk hutan. Besoknya, dia sudah memakai (mobil) X-Trail," kata Wiratno.

Sambil terus mengupayakan penegakan hukum yang sungguh-sungguh terhadap pembalakan liar yang melibatkan pejabat dan aparat, model kerja sama yang dikembangkan di Tangkahan akan terus dikembangkan. Kegiatan konservasi tidak dapat berjalan tanpa disertai peran aktif masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Untungnya rakyat kecil, seperti di Tangkahan, jauh lebih bijak daripada pejabatnya yang membalak. "Tak ada sekolah di sini. Mereka harus hidup dari alam, dan saya yakin hidup mereka lebih baik dengan menjaga hutan ini," kata Okor menutup pembicaraan.

No comments: