SEBAGAI tukang pijat tuna netra, di bulan "ramai" Dede Karyana (24) bisa mendapat lebih dari 20 pasien yang menyambanginya di tempat praktiknya, Jln. Holis. Dengan tarif Rp 30.000,00 per kunjungan, pengeluaran rutin bulanannya adalah membayar dua kamar kos yang dikontraknya Rp 450.000,00. Dan kurang dari sebulan lagi, Sunarti (33) istrinya akan segera melahirkan.
"Mungkin kalau ke bidan, saya harus menyiapkan enam ratus ribuan," kata Dede ketika mengantar istrinya memeriksakan kehamilan di Rumah Bersalin Cuma-cuma (RBC) Dompet Dhuafa, Jln. Holis 127 Bandung.
Kunjungan mememeriksakan kehamilan itu merupakan yang pertama bagi Sunarti yang juga tuna netra. "Saya mendengar ada rumah bersalin gratis dari orang, saya coba datang ke sini," katanya.
Pasangan ini kemudian menempuh prosedur yang sama bagi setiap orang. "Untuk menjadi member," kata petugas layanan mustahik, Dian Purnomo S.E., "Mereka harus mengisi formulir dan kemudian wawancara."
Syarat-syaratnya memang cukup berat, antara lain punya penghasilan di bawah upah minimum regional, selain tentu saja hamil. "Kami melakukan survei untuk cross-check hasil wawancara, sebelum diputuskan untuk diterima sebagai member," kata Budimansyah, petugas survei.
Selain menghindari orang yang sekadar coba-coba, seleksi dilakukan agar mereka yang dilayani adalah benar-benar orang yang berhak dan membutuhkan pelayanan yang masih sangat terbatas ini. Kalau saat survei, misalnya, masih terlihat punya motor yang masih bisa dijual, pertimbangannya akan lain.
Sebagian besar pelamar terutama yang coba-coba, kemudian memundurkan diri dengan kesadaran sendiri, setelah mendapat penjelasan mengenai siapa yang benar-benar seharusnya mendapat layanan RBC. "Kalau tidak setelah wawancara, ya ketika disurvei, mereka bilang, 'saya nggak jadi, masih banyak yang membutuhkan'," papar Dian.
Dari 320 member atau anggota RBC, 80 persennya keluarga yang dalam kondisi menganggur, tidak punya pekerjaan tetap atau hanya serabutan. Sisanya, pekerja kecil seperti buruh, satpam perumahan dll. "Yang gajinya paling besar kurang lebih Rp 400 atau Rp 500 ribuan," kata Budimansyah.
Setelah menjadi anggota tetap, mereka dilayani mulai pemeriksaan kesehatan kehamilan dan persalinan. Pelayanan baru "dihentikan" ketika usia bayi 9 bulan, dan setahun pengikutsertaan program KB bagi ibu. "Kita juga berikan edukasi kepada mereka tentang perencaan keluarga," kata Dian.
Ada dua dokter umum, lima bidan, tiga perawat dan enam orang petugas administrasi yang melayani kebutuhan konsultasi dan kelahiran. Rumah bersalin gratis satu-satunya di Jawa Barat ini dilengkapi fasilitas satu ruang konsultasi ANC (antenatalcare), tiga ruang nifas, dua ruang persalinan, satu ruang bayi, dan tiga ruang untuk dokter, administrasi dan pertemuan.
Walaupun gratis, lanjut Dian, para member memiliki kesadaran tinggi untuk berbagi. "Walaupun layanannya boleh sampai seminggu, mereka biasanya pulang sehari setelah persalinan. Mereka ternyata lebih kuat."
**
PENDIRIAN RBC dua tahun lalu, kata Direktur Dompet Dhuafa Bandung, Ima Rachmalia merupakan langkah optimalisasi dana zakat dari program bea bebas bersalin yang diluncurkan tahun 2003 dan optimalisasi dana. Sejumlah dana dikucurkan hanya untuk "menebus" ibu dan bayi yang tidak mampu dari rumah sakit maupun rumah bersalin biasa.
Program itu, ternyata menyedot biaya yang cukup tinggi, mengingat rata-rata biaya tebusan tersebut antara Rp 400.000,00 hingga Rp 1,5 juta untuk per orang. "Karena itu, kita planning untuk membangun RBC, dan di tahun 2004 itu fokus kita memang di kesehatan," lanjut Ima.
Dengan investasi awal sekira Rp 300 juta, sebuah rumah di Jln. Holis ini diubah menjadi rumah bersalin lengkap dengan instalasi medisnya. "Waktu kita cari tempat, kita lihat rumah ini akan dikontrakkan, ya jadinya di sini," kata Ima.
Biaya operasional --ternyata-- memang menjadi lebih optimal, dengan spektrum pelayanan lebih luas. Tidak hanya persalinan, konsultasi rutin bisa dilakukan. Dalam sehari bisa terlayani 15 hingga 25 kunjungan konsultasi kehamilan. Sedangkan persalinan yang ditangani berkisar di angka 20 kelahiran per bulan.
Indeks biaya persalinan dengan fasilitas mandiri tersebut, bisa ditekan hingga Rp 50.000,00 sampai Rp 100.000,00 per orang per hari. "Itu untuk kelahiran normal, tidak ada indikasi apa-apa dan bisa ditangani bidan di sini," kata Dian.
Untuk membiayai program RBC dalam kondisi normal, pengeluaran per bulan RBC hanya berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 12 juta. Namun, pengeluaran membengkak manakala banyak pasien yang harus dirujuk ke rumah sakit. "Di sini kan kelasnya hanya menangani kelahiran normal, kalau ada kelainan, misalnya harus (operasi) cesar, harus dirujuk ke rumah sakit yang punya fasilitas itu," kata Ima.
Untuk operasi cesar tersebut, RBC mengeluarkan Rp 4,5 juta per rujukan. Tentu saja semakin banyak pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. "Bisa melonjak sampai Rp 25 juta hingga Rp 35 juta per bulan. Karena kalau sudah kita bilang gratis, ya kita konsisten, dari datang sampai pulang lagi ya kita tanggung," kata Ima.
Terintegrasi dengan RBC, pelayanan konsultasi kesehatan semakin meluas dengan dimilikinya mobil layanan kesehatan keliling ANC Mobile. Mobil ini setiap pekan berkeliling ke kantung-kantung kemiskinan di Kota Bandung untuk melayani konsultasi ANC, layanan KB, kesehatan dan "promosi" RBC. "Setiap pekan itu, kunjungan mencapai 100 orang," kata Dian.
Program ANC Mobile yang lebih besar dilakukan dalam periode tiga bulanan, dan dilakukan untuk menjangkau daerah pelosok di luar Kota Bandung, antara lain Ciparay, Ciwidey, Cimaung, Padalarang, dll. Diperkuat tenaga tambahan dari relawan yang terdiri dari dokter dan tenaga medis lain, 300 orang bisa terlayani dalam program besar ini.
**
DANA yang tersedot oleh program rumah bersalin gratis ini, menurut Ima, mencapai 30 hingga 40 persen dari total perolehan Dompet Dhuafa. Semua ini menjadi sangat berharga, karena kurang dari dua tahun usianya, sudah terlayani 183 kasus persalinan, 1.249 pemeriksaan kehamilan, 881 tindakan imunisasi, dan 482 pelayanan KB cuma-cuma.
"Ini adalah masterpiece-nya Dompet Dhuafa di bidang kesehatan," kata Ima seraya memaparkan beberapa program di bidang pemberdayaan ekonomi dan pendidikan. "Sebenarnya, di tahun 2006 kita ingin fokus di pemberdayaan ekonomi. Orang tidak bisa ke rumah sakit kan karena masalah ekonomi," ujarnya.
Di bidang ekonomi, program Bina Usaha Mandiri digelar untuk memberdayakan komunitas dan individu. Beberapa yang sudah dilaksanakan adalah produksi serbet di Cikancung, bilik di Banjaran, layang-layang di Tanjungsari, kampung ternak dll.
Namun, tanpa terduga, pihaknya mendapat tanah wakaf seluas 7.600 meter persegi dari seorang ulama setempat yang terkesan dengan kehadiran RBC di dekat pesantren yang dikelolanya. Rencananya akan dibangun rumah bersalin cuma-cuma dua lantai, yang rancangan anggaran biayanya mencapai lebih dari Rp 2 miliar.
Di tengah keterbatasan yang dimiliki, sejak awal pertengahan 2005, baru 30 persen bangunan fisik yang terlihat. Upaya menggalang dana dilakukan lebih intensif, termasuk program wakaf bahan bangunan. "Kita harus maraton dan berlari cepat untuk mewujudkannya," ujar Ima.
Tentu saja, karena program untuk rakyat yang tidak mampu ini didanai dari sumbangan berupa zakat atau wakaf, kecepatan larinya tergantung kesadaran masyarakat. "Kami optimis, tingkat kesadaran masyarakat cukup tinggi, apalagi dana zakat itu abadi, kalaupun mustahik tidak ada, dana zakat kan tetap harus dibayar," kata Ima.
Setidaknya pekerjaan membuat RBC bisa berlari didukung oleh harapan dan doa orang-orang seperti Dede. "Mudah-mudahan yang seperti ini lebih banyak, banyak orang lain yang seperti saya yang terlayani," katanya.
Dede kemudian menegakkan duduknya, dan wajahnya tampak serius, "Bukan karena saya ada di sini (RBC), ini setulus hati." ***